SABENGBATAN

"sabengbatan", duduk manis dan simak dengan hati. semoga ditemukan ruang-ruang indahnya....

Minggu, 19 Desember 2010

KERETA (bagian 1)



NOVEL
A.Y. HUDAYAT









KERETA….!







BANDUNG
SEPTEMBER 2007















gerbong kereta
yang mempertemukan mereka,






















8 jam perjalanan





















menyelinap kisah
di antara
perjumpaan banyak kultur





















ingin segera
sampai tujuankah?











atau terlalu singkat
perjalanan ini?







1

Tepat jam setengah delapan pagi, kereta jurusan Bandung - Solo Balapan telah melaju perlahan meninggalkan stasiun Bandung. Lintasan demi lintasan akan menunjukkan seberapa besar kereta tersebut menjadi sebuah objek besar dalam persepsi mereka yang dilintasi.
Hari ini masih tidak ada penambahan gerbong kereta. Biasanya menjelang libur besar nasional atau jadwal cuti bersama, tidak jarang pihak PJKA harus menambah beberapa gerbong untuk tiap kereta dari berbagai jurusan.
Di keseharian, bertepatan dengan waktu yang sama ketika kereta mulai menembus jalur jalan raya, seperti hari ini juga, di samping kanan kiri  kendaraan penuh sesak Sepertinya mereka dipaksa untuk bersabar karena kereta akan melintas.  Meskipun  layanan operator di pintu lintasan  memutarkan suara peringatan untuk para pengendara agar berhati-hati, tetap saja itu merupakan suara yang tak bermakna. Mereka tidak sabar  menunggu papan penghalang lintasan terbuka kembali. Di hari sepagi ini, mereka mulai merasakan tantangan jalanan yang harus ditundukkan. Ada suara kereta yang seolah menggertak mereka. Tapi di sisi yang lain, mereka ingin menunjukkan sikapnya saat diri tidak harus terus-menerus ditafsirkan kecil, meski sebatas anggapan fisik. Mereka akan sangat tahu tentang kereta dengan kesombongannya. Kesalahan yang dilakukan para pengendara jalan raya sedikit pun tidak akan pernah ditolelir. Kereta akan melaju kencang meski meninggalkan korban jauh di belakang. Sebuah kesombongan yang nyata, katanya.
Tidak menutup kemungkinan, anggapan tersebut mempengaruhi juga anak-anak yang telah tahu dengan pasti kapan tepatnya sebuah kereta akan melintas di perkampungan mereka. Mereka akan tetap dengan rencana-rencana mereka atas kereta tersebut.
Tetapi kereta yang diisi penumpang tujuan Jogja dan Solo di pintu lintasan pertama hari ini hanya memancing para pengendara di jalan raya untuk kembali mengamati spanduk promosi PJKA yang terbentang melebar. Ada diskon dua puluh persen untuk tujuan tertentu berdasarkan kelasnya. Sebuah iklan yang bermain di sisi citra manakala perkeretaapian sedang terpuruk karena banyak kasus kecelakaan akibat human error atau kondisi alam.
Entah apa yang terjadi di gerbong dua kelas bisnis dari sepuluh gerbong yang mengangkut penumpang dengan tujuan sama, padahal bagian reservasi sudah mengaturnya dengan begitu baik untuk penyebaran penumpang di tiap gerbongnya. Di gerbong dua kelas bisnis tampak  hanya sebagian kecil saja penumpang. Hanya diisi sepertiganya saja. Seperti biasa tidak ada hal yang istimewa ketika melewati pintu lintasan. Sebagian mereka mencoba untuk peduli sambil mengamati pemandangan di luar. Kepedulian yang sesaat karena kecepatan yang cukup tinggi tidak dicukupkan mampu menjangkau objek di luar yang lebih dekat dari jarak pandangnya. Apa yang bisa dijangkau dari kecepatan tersebut? Hanya saja nanti ketika hamparan sawah membentang luas dan rangkaian gunung yang mampu dipandang dari jarak jauh, itu satu-satunya objek yang cukup nyaman dipandang mata tanpa merasa kita harus berjuang lagi menyesuaikan daya penglihatan untuk menangkap gerak objek yang seolah berlari sangat kencang, seperti tidak mau dipantau oleh siapapun. Itu semua tetap menjadi bungkam sebelum kita benar-benar mendekati objek sesungguhnya.
Pintu lintasan pertama telah dilalui. Para penumpang tetap berharap mendapatkan kenyamanan selama perjalanan meski dalam pengertian yang berbeda jika dibandingkan dengan gerbong eksekutif. Menurutnya, paling tidak ada kenyamanan hakiki yang sepadan dengan yang dirasakan oleh mereka yang menempati gerbong eksekutif. Sebagian hati mereka berucap: di manapun kita duduk dan melintas, semoga kita selamat sampai tujuan. Tetapi mereka masih sedikit ragu. Selalu ada peluang yang tak terduga untuk terhindar dari celaka atau pun keselamatan yang bukan menjadi milik mereka di hari ini, meski kebanyakan dari penumpang adalah bukan pertama kalinya mereka melakukan perjalanan dengan kereta ini; bahkan dapat dikatakan mereka benar-benar sudah berstatus sebagai pelanggan kereta tersebut. Tentunya, bagi pelanggan yang dimaksud akan terbiasa menerima peralihan atas kesan dalam tiap lintasan. Tidak terkecuali ketika dua kesan dibedakan satu dengan yang lain saat melintasi dua wilayah geografis: Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selalu saja muncul perasaan yang berlainan. Alam di Jawa Barat menunjukkan kesyahduan yang agung; sebuah atmosfer yang dirasakan seolah selalu dalam pengawasan Sang Maha. Sementara ketika memasuki alam Jawa Tengah menunjukkan kemegahan dari serbakemungkinan dinamika hidup yang cepat dan tanpa menyerah.
Di gerbong dua kelas bisnis, sama halnya dengan gerbong-gerbong lainnya di kelas bisnis, tampak kursi hijau dengan sarung kumal di sandarannya lebih menunjukkan sebuah keterusterangan bentuk pelayanan. Sebagian kipas angin yang terpasang sudah benar-benar tidak berfungsi. Untung saja kaca jendela yang berukuran kecil memanjang di atas kaca utama sengaja dapat digeser untuk sedikit memperlancar keluar masuknya udara. Tampak di sebagian kaca-kacanya retak akibat lemparan batu besar dari anak-anak iseng di beberapa perkampungan berbukit yang terlewati kereta. Mereka secara sengaja selalu melemparkan batu besar-besar ke arah kereta, terutama gerbong eksekutif. Sering terjadi kekhawatiran saat melewati perkampungan tertentu. Para penumpang terpaksa beranjak dulu dari kursi yang dimungkinkan kaca jendelanya terkena batu-batu tersebut. Bukan tidak mungkin, setelah sekian banyak perjalanan dengan resiko yang sama, retakan kaca-kaca tersebut menjadi mampu diterobos batu-batu  besar itu. Hmmm... kengerian yang tak terduga akibat perilaku anak-anak kampung yang mulai menunjukkan sikap berkuasanya memandang ke bawah dari atas tebing; seperti siap melumatkan binatang melata yang melintasi daerahnya. Apa yang sesungguhnya ingin mereka hancurkan?  Entah siapa yang memberi jalan untuk terciptanya sebuah kerusakan ini.
Tidak saja kekhawatiran yang datang dari luar tetapi semuanya bisa saja terjadi dari dalam untuk bentuk kejadian apapun yang sukar diramalkan sebelumnya. Makanya, tidak jarang antar para penumpang pun bisa saling mencurigai. Bentuk pelayanan dan kebiasaan di kelas bisnis membuka peluang mereka untuk berkelompok dan mempersempit keselamatan para penumpang yang pergi sendirian, tidak terkecuali dengan turis asing yang belum berpengalaman berhadapan dengan sebuah perjalanan panjang yang serba berkemungkinan itu.
Seorang turis asing yang satu-satunya penumpang di gerbong dua kelas bisnis itu diam-diam mengamati retakan kaca tersebut. Sepertinya ia baru saja menggunakan jasa angkutan ini. Ia meraba perlahan-lahan kaca tersebut seperti ingin memastikan kebertahanan kaca tersebut menahan benturan selanjutnya. Ia mengamati sekitarnya dan dilihatnya retakan serupa di kaca lainnya yang membentuk jaring tanpa bentuk, sebagai sedikit keistimewaan partikel kacanya yang benar-benar padat walaupun tidak dapat dikatakan sebagai kaca anti pecah. Di bagian tengah retakan sebagai pusat benturan, tampak menghitam. Entah berapa daya bentur lagi yang menjadikan kaca tersebut pecah. Ia sendiri sebenarnya belum tahu, ini adalah hari pertama kepergiaannya yang di satu titik perkampungan, lemparan batu besar itu akan secara nyata menjawab pertanyaan dia tentang kekuatan kaca tersebut.
Seperti tidak ingin diganggu oleh lintasan imajinya tentang retakan kaca tersebut, ia segera menutupkan gordin ke seluruh permukaan kaca jendelanya. Ia lebih berkorban untuk tidak menikmati pemandangan di luar yang sebenarnya ia harus mulai banyak mengenal tentang Indonesia dan hamparan kesuburannya.  Tetapi ia lebih memilih membatasi pandangannya. Ia akan terus terganggu dengan retakan itu. Ia kini mulai menyadari, anarkisme mulai menjangkau medan manapun.
Perlahan ia membuka kembali gordin tersebut. Ia merapatkan bilahan kecil kaca penutup yang membentang di atas kaca jendela utama. Tidak ingin asap lokomotif menusuk hidungnya. Ditutupkannya kembali gordin itu. Saat dipastikan semuanya baik-baik saja, ia mulai tenang membuka ranselnya. Dikeluarkan sebuah buku. Dan ia mulai menikmatinya halaman demi halaman. Tampak di sampul muka tertulis: BANDOENG-BANDUNG.
 Jalur kursi sebelah kanan yang ditempati turis asing itu tampak lebih lengang. Hanya ada empat penumpang yang menempati jalur itu. Seseorang yang bertepatan duduk di belakang turis tersebut masih menunggu pemeriksaan karcis. Ia menjadi tidak sabar untuk memastikan bahwa memang tidak akan ada lagi penumpang yang menyusul naik ke gerbong tersebut ketika kereta berhenti untuk sementara di Tasik dan Banjar sebelum benar-benar memasuki wilayah geografis Jawa Tengah. Adakalanya gerbong menjadi lebih penuh ketika sampai di stasiun Tasik dan Banjar. 
Dengan ringan, salah seorang yang duduk di jalur kiri yang memperkenalkan diri sebagai Andi, menawarkan untuk bergabung dengan mereka yang tadi telah sama-sama duduk menunggu beberapa menit di koridor tunggu stasiun.
 Salah seorang pemuda yang ikut merasa ditawari hanya mengernyitkan jidatnya. Ia akan lebih asyik jika perjalanannya tidak terganggu oleh siapapun. Terlalu banyak waktu yang dia butuhkan untuk tidur selama perjalanan. Matanya tampak sangat letih. Sementara, Tofan, satu orang lainnya yang jelas-jelas ditawari untuk bergabung dengan mereka dengan ringan pula segera beranjak mendekati kursi mereka. Andi sepertinya sudah lebih akrab dengan Tofan dibandingkan dengan yang lainnya,  segera memutar kursi untuk dihadapkan dengan kursi di belakangnya. Jelaslah kini dua jalur kursi saling berhadapan untuk diduduki empat orang penumpang.
“Ini sepertinya lebih nyaman.” Andi segera duduk dan mempersilahkan yang lain menempati bagian kursinya masing-masing. Tampak betul keceriaan mereka padahal baru saja mereka saling mengenal. “Kenalkan, saya Andi.” Ia menyalami ketiga penumpang yang mulai bergabung dengan dirinya. Ia tersenyum kepada Tofan karena ini berarti ia berjabat tangan dengan tofan yang kedua kalinya saat bertemu di koridor statiun.
“Saya Dadan.” Ia pun bersalaman dengan yang lainnya. Ia tampak paling formal di antara ketiga kenalan lainnya.
“Aku Pram.” Seorang lagi menyebut namanya dengan aksen Jawa yang kental.
“Mas Tofan, Andi, Dadan..... dan Mas Pram?” Andi  mulai ingin mencairkan suasana. “Satu suku kata lagi dong, he..he... biar adil” katanya ditujukan kepada orang yang memperkenalkan dengan nama Pram.
“Ya kelebihan.... Aku Pramono” katanya berusaha menumbuhkan kepercayaan  diri dengan nama tersebut dibandingkan dengan kepercayaan dirinya saat menyebutkan nama Pram. Ia sedikit menyesal atas keberanian dirinya dengan menyingkat namanya itu kalau toch pada akhirnya nama sesungguhnya harus ia sebutkan. Di kampungnya ia cukup dipanggil Ono saja.
“Oh... Mas Pramono. Pulang Mas?”
“Iya.” Singkat saja. “Mas sendiri mau ke mana?” nada pertanyaannya lebih menegaskan bahwa ia ingin lebih menunjukkan sosok yang tidak mudah cair untuk urusan yang sedikit atau samasekali tidak berkenan dengan dirinya.
“Aku sudah terbiasa dengan perjalanan ini. Nanti aku turun di stasiun Tugu. Tujuh jam perjalanan akan terasa sangat lama kalau kita tidak bisa menikmati perjalanan. Mending pemuda itu saja... tidur nyenyak. Baru bangun ketika sudah sampai di tujuan.” Tofan masih berdiri merapikan letak koper di atasnya.
Dadan yang masih tampak formal belum berusaha larut dalam suasana perkenalan tersebut. Ia tampak hanya sekedar ingin berpartisipasi saja. Ia sudah duduk di bagian tepi di mana pandangannya bisa leluasa menjangkau pemandangan di luar. Sebenarnya akan sangat mengganggu baginya untuk larut dalam pembicaraan mereka selama berjam-jam sementara ia harus mempersiapkan diri untuk presentasi di sebuah seminar besok hari.
Tofan sebenarnya masih ragu-ragu untuk menghabiskan perjalanan panjangnya dengan orang-orang yang baru dikenalnya, tidak terkecuali dengan Andi yang sempat mengobrol beberapa menit saat menunggu kereta berangkat.
“ Di Tasik dan Banjar, siapa tahu kursi menjadi penuh. Artinya kita harus kembali ke nomor kursi masing-masing.”
Sebenarnya alasannya lebih karena keinginannya menguasai dua kursi kosong agar sekali waktu dia merasa pegal, ia akan bisa sedikit berbaring walau badan sedikit tertekuk. Tapi keinginnya segera beralih ke keputusannya untuk bergabung dengan mereka. Pikirnya, percuma saja dia bisa sedikit berbaring tanpa keyakinan bahwa dirinya tidak akan terganggu dengan obrolan mereka sepanjang perjalanan. Lebih baik sekalian bergabung saja. Kalaupun bertahan dengan penarikan dirinya, sepertinya dia akan menyesal dengan keputusannya ketika diketahui dari sekian banyak obrolan mereka, sebenarnya ada bagian yang dia sendiri wajib terlibat, sekecil apapun.
“Tenang saja. Ini bukan kereta eksekutif. Nikmati saja.” Andi mencoba meyakinkan Tofan dengan wibawanya.
“Iya sih....apanya yang gak bisa dilakukan di gerbong bisnis. Lebih leluasa saya rasa.” Pramono ikut meyakinkan Tofan.
“Ya enak juga toch. Aku sudah coba semua. Eksekutif nyaman dan aman; bisnis leluasa berekspresi, bisa ngerokok lagi he...he....” lagi-lagi Andi memberi keterangan lebih.
“Ekonomi?” kata Tofan seperti mulai menyambut kelancaran komunikasi. Ia segera berbenah. Sebagian koper dan tasnya ia simpan dengan hati-hati di slof-slof besi yang membentang sepanjang gerbong di bagian atas sebagai tempat penyimpanan barang.
“Itu lain soal.... kan gak satu kereta. Yang kalo dibandingin sih di ekonomi harus punya energi kantuk yang hebat, baru bisa merasa nyaman di perjalanan. Tapi penuh resiko juga.”
“Wah...wah... pelanggan setia kereta rupanya.” Pramono mencoba mulai mau mengimbangi nada cair mereka.
“Gak juga.... Cuma waktu-waktu tertentu saja.” Kata Andi sambil sesekali memeriksa jam tangannya. Ia sedikit mengernyit. Masih terlalu lama untuk sampai di  statiun Tugu.
Mereka menjadi tenang saat petugas memeriksa karcis masing-masing. Sebagian dari mereka sudah terbiasa dengan petugas tersebut yang sok mencitrakan dirinya sebagai petugas yang disiplin, taat peraturan, jaim, dan slalu menggerutu saat nomor kursi dalam karcis tidak sesuai dengan kursi yang ditempatinya. Tatapi ia cepat mengalah dengan tetap memasang ekspresi ingin disegani.
“Tuh kan.... perusahaan kereta juga butuh pelanggan. Gak mungkin lah mempermasalahkan ini.”
“Yaaa... kita aja sering terganggu dengan aturan yang dia buat. Di stasiun tertentu kereta biasa diburu para pedagang. Ribut di dalam gerbong. Gak cukup itu. Pelayan makanan di sini pun ributnya minta ampun. Seperti gak  seneng aja liat penumpang asik terlelap tidur. Suaranya lantang, sok bersahabat. Padahal sepertinya hanya lift service saja. Belum lagi tukang sewa bantal yang seenaknya saja melempar bantal ke tiap penumpang.” Dadan kembali berbicara.
“Eh..... salah sendiri knapa ngambil kelas bisnis.” Nada Andi lebih ke tujuan bercanda dan ditekankan kepada bentuk penyapaan berlanjut kepada Dadan yang dirasakan paling statis di antara yang menempati empat kursi yang berhadapan itu.
“He..he... iya juga sih. Tapi kultur di mana pun sepertinya sudah bersepakat untuk memperlakukan orang sesuai dengan kemampuan finansialnya. Bapak... Ibu.... Saudara..... punya uang berapa? Serahkan kepada kami, biar kamu bantu mengaturnya untuk memenuhi kebutuhan Ibu Bapak dan Saudara sesuai dengan kemampuan masing-masing.” Tofan mulai  melempar berargumen. Ia begitu fasih berpura-pura menempatkan diri sebagai pihak pemberi jasa kepada calon costumernya. Ia harus mulai menunjukkan kepandaiannya di antara ketiga kenalan barunya yang semuanya jelas-jelas berlatar belakang sebuah perguruan tinggi negeri yang sama-sama terkenal di Jawa Bandung dan Jogja.
“Ya apapun..... diatur berdasarkan segmentasi kelas.” Seketika kata-katanya terhenti. Ia segera merogoh sakunya. Dikeluarkannya sekepal HP keluaran terbaru. Ia memberi isyarat agar diperkenankan untuk menjawab panggilan yang masuk tersebut. Yang lain mencoba mengerti. Malah Pramono tampak antusias mendengar kata-kata Dadan dan ingin menerka kemudian, siapa gerangan Dadan itu.
“Ya... saya dalam perjalanan. Sampai di Jogja jam tigaan. Saya dijemput panitia kan? Oh... ya...ya.... Naskah makalah kan sudah saya e-mailkan kemarin. Oh.... ya sudah. Terimakasih.”
Pramono melemparkan pandangannya secara sembarang ke penumpang lainnya. Jelas ia tidak sedang mencari satu objek pandangan. Sikapnya lebih menunjukkan bahwa dirinya mulai mencari-cari sisi mana yang dia pantas tunjukkan kepada yang lainnya. Belum lagi terhimpun satu keyakinan mana yang akan dia tunjukkan, Andi melanjutkan komentarnya.
“Ya kalo kita mau berpikiran sedikit positif, itu semua artinya setiap orang diberi peluang yang sama untuk menjalankan kepentingan yang nyaris sama tetapi dengan perlakuan yang berbeda. Masalahnya tinggal memilih saja. Tingkat perlakuan mana yang sedang kita inginkan dari mereka. Jika mampu, jalani. Jika tidak jangan sampai menggerutu... apalagi menjadi iri akan adanya kelas-kelas. Sebuah aturan hidup yang gak bisa dihindarkan.”
“ngomong-ngomong, kelas mana yang sebenarnya menjadi hak kita ya?” Tofan penasaran.
“Masalahnya bukan kelas yang mana tapi lebih kepada selera aja saya kira.” Dadan sepertinya mulai menghubungkan praduga mereka atas kata makalah dan seminar dengan keberadaan dia di sekitar mereka dalam satu gerbong;  gerbong bisnis.
“Ya..... selera kan representasi kelas.” Andi tetap tenang dan tidak mengubah nadanya. Sementara Tofan menimpali:
“Gak juga. Relatif sih. Misalnya, gaji seorang direktur tapi dia sangat dekat dengan gaya hidup seorang satpamnya. Atau.... sebaliknya; gaji cuma sebagai seorang satpam tapi gaya hidup mendekati seorang direktur. Bisa saling bertukar.”
“Ya ndak juga toch. Kalo aku dibesarkan oleh keluarga yang bisa hidup sangat prihatin demi mencapai sesuatu. Hidup gak dihabiskan untuk memanjakan perut saja.” Pramono mulai menarik perbincangan ini ke dalam sisi kehidupannya.
“Ini urusannya bisa sangat sensitif. Ada yang orientasinya  kenyang dulu baru kaya. Atau bisa kaya karena menahan lapar yang berkepanjangan. Artinya jenis yang kedua, berlapar-lapar dulu baru kaya kemudian. Sedangkan yang pertama, bersenang-senang dulu gak tau deh seterusnya. Tinggal membaca diri saja. Kita dibesarkan oleh pola yang mana?” Andi mencoba hanya memberi deskripsi padahal Pramono sudah mulai merasakan kegerahan di sekitar wajahnya.
“Kalo gitu urusannya... jangan-jangan di antara kita ada yang dimaksudkan ngirit dengan memilih kelas kereta ini atau sebaliknya. Kenyang kan gak harus mlulu ditafsirkan ke makanan. Bisa juga ke bentuk-bentuk lain dari kesenangan  yang ingin kita terima.” Pramono sedikit melirik ke arah Dadan yang sedang asyik mengirim sms. Ia kemudian berkata:
“Kalo urusannya hanya mengejar bagaimana pandangan orang atas diri kita karena sesuatu yang kita perlihatkan, knapa gak sekalian saja naik eksekutif. Lebih jelas gayanya. Gak bakal tertukar dan bersatu dengan orang-orang yang membuka nasi bungkus di dalam gerbong atau bersikap seenaknya tanpa memperhatikan etika atau perasaan yang lain. Cuma beda empat puluh ribu ini kok”
“Kembali ke kebiasaan. Itu gak bisa dipaksakan. Kalo kenyataannya mau eksekutif mau bisnis kalau sudah nasibnya gerbong anjlok ya anjlok. Gak pilih-pilih” Andi lagi-lagi menunjukkan sikapnya.
“Ya kalo gitu alasannya, gak perlu repot-repot juga kita membahas kelas-kelas.”  Tofan sebenarnya ingin asal saja mengatakan kata-kata tersebut sebelum ia menyadari bahwa ketiga kenalannya memilih diam sebagai respon atas kata-kata Tofan tersebut.
“Itu lain lagi. Tadi kita kan bicara soal pelayanan.” Kata Dadan yang sepertinya mau menegaskan bahwa kata-katanya perlu didengar oleh semuanya. Ia terlalu biasa memberi seminar dan berhadapan dengan beratus audiens yang lebih bisa diterimanya ketika haridirin dengan seksama mendengarkan satu demi satu kata-katanya.
“Artinya kebiasaan yang mana yang berhubungan dengan pelayanan yang kita mau? Tetep kan pilihan ada di kita.” Pramono mulai sedikit tidak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan itu.
“Intinya bukan di situ.” Tegas Dadan.
“Sepertinya udara di sini mulai membuat kita gerah. Eh... kipas anginnya dong.” Tofan memperingatkan kepada Pramono yang duduk berdekatan dengan tombol pemutar kipas angin.
Mereka terdiam saat seorang pelayan berompi hijau mulai menawarkan menu yang bisa dipesan, mulai dari teh hangat, nasi goreng, mie baso, sampai menu spesial harian kereta. Salah seorang dari mereka ingin kembali memastikan atas citra pelayan tersebut. Ia masih merasakan tidak ada yang berlebih dari pelayan tersebut. Tetapi dua menit saat pelayan berlalu darinya dan menemui penumpang lainnya, ia baru bisa sedikit menyimpulkan bahwa ia begitu mahir mencari celah yang menguntungkan dirinya baik sebagai pelayan kereta yang dagangannya harus laku atau hasrat dirinya untuk diperlakukan bukan sebagai pelayan sembarangan.
            Pelayan itu terus membujuk para penumpang.
            “Gak baik lho mbak menahan lapar... Mbak turun di Tugu? Masih lama lho mbak. Ayooo mau makan dan minum apa?”
            “Nggak kok. Aku bawa bekal. Terimakasih.”
            “Atau sekedar mie baso mungkin? Enak lho Mbak.”
            “Terimakasih.”
            “Ya wis..... ayo siapa lagi yang mau nasi goreng atau yang lainnya. Nasi goreng...nasi goreng..... yang goreng patut bisa jadi cakep.... ayo siapa yang mau? Atau orange juice? Bisa bikin awet muda.”
            Pemuda yang duduk paling belakang tampak menahan tertawanya atas gurauan pelayan itu. Ia mengenal betul pelayan itu. Bagi dia, pelayan tersebut sangat komunikatif, tidak kaku dan sebenarnya menerima diri dan orang lain apa adanya. Sama sekali tidak ada beban. Wajar saja kalau tubuhnya tampak gemuk karena tidak ada energi yang berlebih yang diserap oleh kerumitan pikiran atau kekompleksan bathin dalam mensiasati hidup. Pemuda itu malah akan tetap menunggu sang pelayan menunjukkan kemahiran berbahasanya. Ia tahu benar, saat berada dalam lintasan daerah Jawa Barat, dari Bandung ke Ciamis,  maka akan dipastikan pelayan tersebut bertutur dengan menggunakan bahasa Sunda yang begitu enak di dengar karena tidak ada satu pun dari kata-katanya yang salah. Kesantunannya telah menempatkan dia di mata pemuda itu sebagai sosok yang selalu ikhlas menjalani aktivitas kesehariannya yang mungkin bagi orang lain akan menjadi membosannya karena sebuah rutinitas berkepanjangan seperti itu.  Saat meninggalkan Ciamis menuju wilayah Jawa Tengah hingga ke akhir tujuan, ia pun dengan mahir menggunakan bahasa Jawa dengan nada dan pelafalan tanpa cacat. Saat menghapiri dirinya, pemuda itu segera memesan teh hangat dan nasi goreng.
            “Aduh...si encep..... belum juga lulus kuliahnya?” Ya gak apa-apa. Jadi sering ketemu dengan saya. Tapi jangan sombong ya kalo sudah jadi orang. Tapi jangan lupa juga kumpulin karcisnya. Sekarang sepuluh karcis bisa ditukar untuk mendapatkan satu karcis buat sekali perjalanan. Dikumpulkan tidak?”
            (bersambung)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar