SABENGBATAN

"sabengbatan", duduk manis dan simak dengan hati. semoga ditemukan ruang-ruang indahnya....

Minggu, 19 Desember 2010

JO-PEDO

NOVEL
A.Y. Hudayat





JO PEDO
Om punya banyak crayon. Mau?










Kekangan itu berselang
dengan  lintasan-lintasan trauma silamku   dalam sekapan seorang pengidap pedofilia..


















ketika
Sebuah kepastian
dipertanyakan































ketika
sebuah harapan
digoyahkan

























Ketika
Semua tak terelakkan



Jo dan Elka adalah bagian dari kisah ini. Mereka mengeluhkan dirinya,  mungkin juga tentang kita. Tetapi mereka tidak menuntut kita untuk terlalu jauh memikirkannya, tidak pula hanya sebatas mencari tahu siapa gerangan Jo dan Elka. Katanya, cukup saja menyimak dengan baik apa yang dituturkannya.
Kalaupun sesekali kita menjadi larut dalam keluh kesahnya, atau bahkan melampaui apa yang dituturkannya, biarkan itu hanya sebatas keasyikan kita meminjam helaan nafasnya sambil sesekali mencoba menangkap bayangan mereka di sekitar kita. Tetapi jika tidak? Semua tetap ada pada batas persepsi kita.
Jo dan Elka mengeluhkan tentang dirinya, mungkin juga tentang kita. Jo, Elka, dan kita... mampukah menawar sebuah kepastian?






1

            Namaku Elka; kadang cukup dituliskan dengan dua fonem: LK. Tetap tidak menjadi bunyi yang bulat penuh manakala aku tuturkan dengan suaraku yang agak dalam. Tetap saja menjadi bunyi yang tanggung. Malah Jo samasekali keberatan dengan dua fonem tersebut. Hanya Polmann, temanku di Mastrich, yang selalu menyapaku dengan nama utuh dan sedikit menghasilkan bunyi yang kuinginkan; selebihnya terbiasa memanggilku cukup melafalkan El dengan bunyi tipis.
            Dulu... tidak ada satupun yang kurang dari semua yang kumiliki termasuk nama yang kusandang. Kata-kataku tetap terjaga dan tidak aku hamburkan untuk hal-hal sepele. Mereka akan sangat tahu apa yang aku inginkan. Tidak ada yang dapat tertukar atau malah disalahtafsirkan dari satu kinesis mataku ke kinesis mataku yang lainnya. Mereka sangat mengenalku atas suara dalamku. Mungkin juga Jo. Tetapi...
Jo, sampai sekarang tidak pernah mau menerima alasan mengapa aku dinamai seperti itu. Katanya, singkatan LK yang berarti lazuardiku, ufukku atau horizonku  tidak lebih dari pengingkaran terselubung yang diatasnamakan pengharapan besar.
Aku sendiri tidak mengerti mengapa ia sampai pada pernyataan itu. Saat bertemu terakhir kali, malah ia menghamburkan banyak istilah untuk itu: Lanskap Kabut, Labirin Keranda, Lumut Kering, atau bahkan Ladang Kemelut dan semua istilahnya yang menyudutkanku. Aku tahu bahwa itu bentuk pembatasan dirinya agar aku tidak melampaui apa yang dia mau. Ia malah menyudutkanku dengan kembali mengungkit tentang pengingkaran terselubung yang melekat pada namaku.
Aku terus berusaha mengembalikan keadaan seperti dulu. Sebenarnya... aku tidak layak menggunakan pernyataan itu karena ia begitu merasakan bahwa aku tidak pernah menjadi bagian  darinya. Aku pun telanjur mengabaikan saat-saat yang seharusnya aku  menjadi bagian di dalamnya.
Dalam keterpurukanku seperti ini, biasanya ia akan cepat curiga dengan apa yang akan menjadi bentuk pelarianku. Ia akan cepat-cepat menutup rapat seluruh sumber cahaya yang datang dari luar. Pandanganku seketika tertutup gordin. Di puncak semuanya,  saat  ia menganggapku sudah tidak logis lagi, ia malah kembali berlari menuju jendela dan semua gordin dibukanya lebar-lebar. Menyuruhku, tanpa kata-kata tetapi jelas memaksa, untuk sepuasnya aku menatap langit hitam. Sorot matanya melebihi apa yang bisa aku terima. Aku terus disudutkan. Ia cepat berlalu dan membiarkanku semakin merasa terintimidasi oleh perasaanku sendiri.
Aku merasa sangat kecil. Tidak ada kuasaku untuk menjangkau luasnya cakrawala meski sekedar hamparan hitam.
Aku hanya mampu mengira-ngira dengan menyisakan sedikit harap, mungkin suatu saat langit  benar-benar terbuka lebar bagiku. Ataukah aku sudah berada pada ujung kemampuan? Mampukah aku untuk tidak kembali menoleh ke gelapku ke silamku? Aku tak tahu atas kemampuanku untuk ini semua.
Walaupun telah terlampau letih,  aku masih terus mengira atas energi kelam yang masih bersarang di tubuhku. Kukhawatirkan karena semakin aku terus berusaha berjuang melenyapkannya, semakin kuat pula silam menghantuiku.
            Kutumpukan malam ini. Berkali aku berharap akan kilatan cahaya dan kubertahan dengan keyakinanku. Aku terus mencobanya. Mungkin ada kesetiaan di atas sana untukku. Aku terus berharap.
Adakah bekas gelimang suka yang tak dapat kusembunyikan? Aku yakin  tak seorang pun mampu membaca semua tentangku dengan kasat mata. Ada gelimang silam yang tersisa di auraku. Aku, sinarku serta helaan nafasku adalah keyakinan dan kerinduanku. Kini, seluruh energiku semata adalah perjuanganku.
            Aku sesekali memaksakan untuk memejamkan mata. Sesekali serentak bangun. Dan masih kudapati langit-langit remang yang kuat menahan  pandanganku hingga tak pernah kudapatkan kilauan sejati seperti yang kuinginkan.
            Sudah tertulis banyak kisah yang bersembunyi di ruangan ini tetapi aksara-aksara  itu aku coba tenggelamkan hingga dasar hatiku. Tetapi, saat aku berhasrat menghapusnya  justru sebagian usahaku lebih menegaskan bahwa lukaku terlalu dalam dan menghimpit.

***
             Aku terus membujuk Tia, “pelayan” setiaku untuk berada di teras depan. Aku tetap pada pendirianku untuk menemukan jawaban pada gemintang itu. Ingin puas dan semampu mata menjangkaunya.  Aku  terus mencari titik-titik terang yang siap melesat meninggalkan penambatnya.
            “Aku tidak  mau kehilangan kesempatan untuk itu. Alam hanya butuh waktu sepersekian detik untuk mendengar harapanku. Sepersekian detik saja.” Kataku. Tetapi ia diam saja.
            “Beri aku kesempatan untuk mengembalikan auraku. Hanya kamu yang tau seluruh auraku dulu.” Aku terus membujuknya. “Aku tak mau mendengar kata-katamu tentang sisa auraku. Aku yakin  tak seorang pun mampu membaca semua tentangnya dengan kasat mata. Aku torehkan tentang silam di tubuhku. Kamu hanya mampu menangkap sepercik saja dari seluruh hidupku!”
            Ia masih diam.
            Aku telah lama kehabisan kepercayaanku untuk semua hal, kecuali harapanku satu-satunya pada gerak bintang itu. Mungkin tidak. Aku masih terus memberi peluang bagi dia. Walaupun air mukanya sulit kubaca, tetapi hangat genggaman tangannya yang terus mampu membangun harapanku.
Lima tahun lebih tua dariku, membuat dirinya kutempatkan lebih dari sekedar pekerja biasa. Ia adalah perekam separuh hidupku. Saat remaja dulu, pertemuan pertamaku dengannya berlanjut ke sebuah pengalaman kekal. Aku kemudian larut dalam keingintahuan lebih tentang sebuah kamar dan dunia di dalamnya dan kenikmatan yang tak terjabarkan. Aku meminta ia mengajariku tentang segalanya. Kudapatkan sebuah pertalian dengannya yang aku sendiri tidak tahu akan dibawa ke ujung arah yang mana. Buruh-anak majikan, yang sebenarnya aku enggan sekali menggunakan istilah itu, dalam sebuah “pertalian”. Entah itu ketulusan, keisengan, atau keterpaksaan, ia terus menjadi bagian dari rentang jalan yang kulalui.
“Terlalu malam! Angin bisa mengoyak sumsummu!” Perlahan ia mendorong kursi rodaku. “Kapan ini akan kamu akhiri?” Ia lilitkan syal hangat di leherku.
Aku diam saja. Tidak ada yang istimewa dari perlakuan dan kata-katanya. Aku lebih suka jika dilihat sebagai sebuah keluarga walau dia sendiri masih terus saja sukar melepas sikap sebagai hamba. Untung saja sapaan “tuan’ dari dia untukku sedikit demi sedikit hilang sejalan dengan perjuanganku untuk menempatkan dia tidak secara hierarkis.
“Malam ini ingin sepuasnya kunikmati seluruh bintang. Aku rasakan banyak ketulusan di atas sana.”
“Sssss…t, masih ada pagi yang hangat, besok. Aku rasa, itu lebih dapat menolongmu.” Tatap matanya tajam seolah ingin menegaskan bahwa ia tak mau mengulang-ulang kata-kata peringatannya padaku.
“Aku hanya dapat tertolong oleh kesyahduan di atas sana dalam remang.”
“Gan…” katanya. Aku terlalu tahu maksud dari ucapannya. Baginya itu sebuah ancaman celoteh untuk menggugurkan perjuanganku dalam menempatkan dia sama di hadapanku. Aku menjadi geli.
“Ha…ha…ha… rindu juga aku dipanggil Gan.”
Ia kini menatap iba. Jiwanya yang kutangkap sedang membangun kembali dunia silam saat ia bersamaku. Sesekali ia menatap jauh ke angkasa hitam dan perlahan tatapannya selalu terpaku kepadaku. Kegelianku serta merta berubah menjadi sunyi hati yang menyeruak. Tatapannya telah melemahkan kemampuanku tengadah menatap angkasa remang. Aku mencoba melawan tatapannya sekedar menenggelamkan rasaku sendiri sesungguhnya. Hanya mampu sesaat.
Ia menghampiriku. Menatapku kembali. Kubiarkan ia mengoyak semuanya dan kesunyianku. Lebih dari lagu menyayat hati, ia hapus satu titik air mataku yang berasal dari genangan samar. Ia terus menatapku. Aku pejamkan mata.
“Ini lebih baik. Terus saja menangis selagi kamu mau.” Perlahan bisiknya ke telingaku. Kurasakan dua titik air mata telah memudar. Ia menghentikan bisikannya. “Sebenarnya bukan hanya separuh hidupmu yang aku tahu, tetapi lebih dari itu. Ini bukan akhir harapanmu.”
“Ti….” Suaraku lemah. Aku tak mau mendengar pandangannya tentangku. “kesahduan itu mulai menghampiriku. Jangan kamu pudarkan!”
Ia diam. Tatapannya tertuju ke langit kembali, mencoba menangkap bahasa alam. Aku pun berusaha mencari-cari perasaannya atas diriku yang terbaru.
      Pernah suatu ketika aku sangat dihimpit sunyi dalam keberadaanku yang masih seperti ini. Aku hanya bisa terkulai lemah di kursi roda. Kuhubungi dia saksi separuh hidupku. Aku membujuknya untuk datang ke rumahku. Layaknya seorang anak kepada ibunya, memelas dan ingin segera dikabulkan tanpa sedikit pun ada penolakan.
      “Malam-malam begini?”
      “Belum terlalu malam.”
      “Ada apa? Anakmu lagi?”
      “Bukan. Kuku tanganku sudah panjang-panjang.”
      “Aduh.... besok kan masih bisa!”
      “Kulit paha kiriku tidak mau luka yang kedua kalinya. Malam tadi pahaku tergores. Bisa kan?”
      “Iya... a..aku segera datang.”
      Seperti kecilku dulu. Aku gembira karena aku akan dengan mudah terlelap tidur dalam buaiannya. Tidak ada nyanyian, hanya belaian kecil. Ia akan segera datang dengan kekhawatiran dan semangat. Ia sangat pandai mengalihkan kesedihanku. Tersenyum sambil memikirkan kata-kata ringan yang bisa kuterima.
      “Besok aku buatkan masakan. Tinggal pilih, pepes tahu spesial atau cake kentang plus juice timun korea?”
      “Tahu spesial? Spesial apanya?”
      “Spesial pake garam. Tapi sedikit saja.”
      “Sekalian bikin yang gurih saja. Aku sudah rindu makanan yang lezat-lezat.”
      “wah gawat! Tadi nelfon minta dipotongin kuku biar tidak melukai paha. Nah kalau dikasih yang gurih-gurih, bisa-bisa nanti susah berdiri, he...he...”
      Aku segera dipapahnya. Aku mencoba berdiri dan berjalan perlahan selangkah-selangkah. Lama sekali. Kaki kananku masih bermasalah.
      “Ya.... satu.... dua.... Cukup! Yang penting bisa berdiri tegak dulu.”
      “Jadi sudah bisa yang gurih-gurih?”
      “sabar sayang! Kalau kamu sudah pandai lari, baru dikasih.”
“Tapi sudah kuat beberapa langkah kok. Aku coba lagi ya...”
      “He.. jangan dihabiskan malam ini. Besok pagi sambil berjemur sepertinya lebih bagus.”
      “Tanganku juga ya.”
      “Tenang saja. Belum pecah ini bola tenisnya karena remasanmu.”
      “Dulu, sepertinya kita pernah mengucapkan kata-kata yang nyaris sama dengan yang baru saja kita ucapkan, untuk hal lain. Tapi sekarang....”
      Ia menguatkan tatapannya kepadaku. Genangan samar di matanya perlahan tampak jelas. Satu titik jatuh di pipinya.
      “nanti kalau sudah pulih seluruh kekuatanmu, jangan segan-segan, tendang saja kursi roda ini. Kamu buang atau kamu hancurkan. Dan semuanya plong!”
      perlahan aku dibaringkan ke ranjang. Dua bantal ditumpukkan untuk menyangga kepalaku. Ia memeriksa kukuku. Senyuman kecilnya lebih menunjukkan kesedihannya. Ia mengelus jari-jariku.
      “dulu aku tidak pernah membayangkan hidup seperti ini. Apalagi mempercayai kata-kata mereka dulu.
      “Setelah sempat berpisah, aku terus membayangkan bahwa suatu saat kita dipertemukan lagi. Dan benar. Di usia setua ini kita bersama lagi. Aku kadang geli membayangkan masa muda kita.”
      “Satu lagi saja urusanku. Tapi aku belum tahu apa yang akan terwujud di sisa usiaku ini.”
      “kenapa hanya satu? Tambah saja menjadi beberapa. Maksudku urusan yang tentunya bermanfaat untuk kesembuhanmu. Setidaknya akan ditambahkan pula peluang bagi kamu untuk memperbaiki semuanya. Ya fisikmu, jiwamu, dan tentunya bagi Jo juga.”
      “Tidak begitu! Jika kutambah lagi urusanku yang lainnya, artinya aku akan tetap berhutang dalam hidupku karena aku tidak mampu menuntaskannya. Aku akan segera dijemput maut.”
      “Jadi yang satu itu apa?”
      “Biar aku simpan saja. Suatu saat nanti kamu akan tahu.”
      Mimik wajahnya beriak. Ia ingin menyampaikan bahwa semuanya tentangku sudah dia ketahui. Dan kini aku mencoba menangkap kata-kata dan isyarat tatapannya.
      “Yakin betul kamu tentang aku! Sebenarnya hanya sedikit sekali yang kamu tahu. Tapi… sudahlah. Tubuhku mulai kedinginan!” Aku terhenti dari kata-kataku. Ia segera membawaku ke ruangan sempit itu. Dinyalakan sebagian lampunya. Tubuhnya merapat ke kursi rodaku.
“Ini  malam terakhir harapanku. Bawa segera kembali aku ke luar!”
“Di luar dingin sekali!”
“Aku tidak bisa memandang semua bintang. Ini malam terakhirku. Aku ingin sepuasnya merasakan kesyahduannya.”
Ia kembali menatapku. Dalam sekali. Kata hatinya bermuara pada air mukanya. Ia terus  beradaptasi dengan kata dan suasana hatiku. Bukan lagi tatapan gelora yang dulu saat aku bersamanya menghabiskan waktu untuk mencumbu hangat tubuhnya.
“El…” katanya. Riak wajahnya seperti ingin menghembuskan energi positif ke dalam tubuhku. Ia kembali menggenggam jari tanganku. Air mataku telah terserap kelopak matanya. Aku lihat ada genangan kecil. Seketika ia pandang satu persatu bagian wajahku.
“Kenapa kamu pandangi aku seperti itu?”
Ia diam. Perlahan dia hampiri jendela. Gordinnya masih terbuka lebar. Ia amati angkasa dari balik jendela.
“El…” katanya lirih. Ia kembali diam. Matanya tampak dalam-dalam menatap langit. “jika aku mampu menjangkaunya...” kata-katanya terhenti.
Ia segera membawaku ke tepi jendela. Disapunya uap dingin yang menutupi permukaan kaca jendela. Kudapati di luar setengah permukaanya kilauan lampu selebihnya bintang-bintang yang tampak begitu jauh dan hanya kutemukan beberapa saja yang nyata terangnya.
“Tidak ada yang melebihi terang yang kumau.”
‘Bintang yang mana?”
Aku menggeleng.
Dalam diam, aku dihampiri wajah Jo yang samar dan berkabut. Aku berusaha meraihnya. Ia diam. Aku menangkap isyaratnya bahwa akan selalu ada pertemuan kekal. Dan dia menungguku untuk sebuah jawaban dariku tentang sebuah kepastian. Kata-katanya berujung pada sebuah tangisan, harapan, kerinduan, kenangan, dan seluruhnya. Suatu saat, aku pasti menjadi milik sebuah keabadian, katanya.
      Aku merasakan dingin yang kuat bersarang di tubuhku. Suara Jo makin terdengar samar dan mendesis. Kaca jendela menyembunyikan langit dan semua kilaunya. Aku melebur dalam gelap dan dingin.

***





2

Jo. Panggilanku. Joseph Angraksa nama lengkapku. Aku sudah cukup lama di sini. Kembali kupertanyakan kekuatanku untuk bangkit. Mereka meruntuhkan kembali perjuanganku. Mereka terus berusaha menjajaki kemungkinan lain agar aku terpuruk dari sisi mental atau aku harus mendekam lama di sel ini dengan perlakuan dari seorang psikiater yang pasti akan memuakkanku.
Aku ditangani oleh seorang psikiater wanita. Ia cerdas tetapi berusaha menutupinya di hadapanku. Aku banyak menerka tentang dia dan aku banyak bersiasat kata dan gerak mata untuk membuatnya bingung. Selebihnya aku berharap, dia cepat meninggalkanku dan menyerah! Aku tak ingin cemas lagi dengan hak sepatunya yang mengetuk-ngetuk lantai yang terbentang panjang hingga mendekati selku.
      Pintu sel itu berderit lagi tetapi aku harus terbiasa. Suaranya begitu memekakan telinga dan kengiluan muncul tetapi terus kutahan manakala batang kunci slot dari baja besar dipaksa digeser. Itu kurasakan tidak lebih dari sebuah gertakan belaka. Aku dijemput mereka untuk dipertemukan dengan psikiater itu di sebuah ruang khusus.
      Di dalamnya hanya satu meja dua kursi. Dua petugas berlalu dan sebelumnya memperingatkan psikiater tersebut untuk segera menekan bel jika pertemuan selesai.
      “Ini hari pertama kita. Saya siap membantu kamu.”
      Aku diam mencoba menerka efektivitas kinerja dia atau bahkan mencari celah untuk menolak secara tegas dari apa-apa yang ingin dia pertanyakan.
      “Kamu boleh cerita apa saja mulai dari apa saja yang kamu inginkan.”
      Aku tetap diam. Sama sekali pertemuan yang tidak menarik minatku untuk membuka diri.
      “Oke ... nggak apa-apa. Saya hanya ingin tahu lebih tentang perasaanmu selama ini yang kamu pendam.”
      Aku terus diam. Dia beranjak mendekatiku. Ia pegang pundakku seolah ingin menggerakkan kekuatanku untuk bercerita tentang hidupku. Aku merasakannya. Tetapi daya tolakku lebih kuat. Aku sedikit tersinggung dengan sikapnya seperti itu. Dia menghempaskanku ke dunia di mana aku dipaksa harus berumur tidak lebih dari dua belas tahun!
      Psikiater itu segera menekan tombol bel bundar yang terletak di tengah meja. Dia keluar lebih dahulu dan aku segera dibawa kembali oleh dua petugas memasuki sel tahanan.
      Pertemuan keempat kalinya mungkin ia anggap sebagai keberhasilannya membuka tabir hidupku. Tidak. Dengan atau tanpa dia, aku adalah aku yang menggerakkan diriku sendiri. Dan saat itu karena kilasan-kilasan silam dalam benakku terus mencengkram ingatanku. Aku berteriak dan menangis.
      “Paling tidak kamu bukan lagi patung yang teronggok di hadapanku. Saya yakin, sebenarnya kamu mau cerita banyak. Tapi harus sampai kapan saya menunggu ini semua?”
      Ia terus memperhatikan kinesis bola mataku.
      “Kamu tidak sendiri. Dan kamu jangan pernah berhenti seperti ini. Usiamu sekarang 24 tahun. Jika Tuhan mentakdirkan hidupmu sampai nanti, 70 tahun misalnya, berarti ada dua pertiga dari seluruh hidupmu yang harus kamu jalani. Dan itu peluang bagi kamu. Maukah dua pertiga hidupmu ke depan lenyap darimu hanya karena kamu terus larut dalam sepertiga hidupmu yang telah kamu jalani?”
      Tujuh puluh tahun? Itu artinya akan ada dua pertiga hidupku dalam ketidakpastian lagi. Sama halnya ketika aku terus berharap sejak kecil. Semuanya tidak berujung. Aku punya hak atas hidupku ke depan? Bulsit! Kalau memang aku punya hak atas hidupku, mengapa untaian panjang itu terus menjeratku. Ada yang telah mempermainkan hakku. Bahkan lebih dari itu. Bukan saja hakku dirampas, tetapi mereka menghancurkan jati diriku.
Dia boleh bangga dengan segala usahanya untuk mengkorek batinku. Tapi jangan terlalu yakin  dengan seluruh analisis psikopatologis atas kasusku. Aku di sini bisa berbohong! Bulsit dengan seluruh analisis tentang life event, conditioning event, traumatic event, precitipating event, tension, atau apa pun. Aku bisa berbohong! Aku psikopat? Apa hubungannya sebuah diagnosa dengan gelang kulit bercorak etnik yang dicoba diberikannya kepadaku?
      Jangan pernah menjebakku dengan  benda itu untuk meramalkan eksistensiku. Jangan terlalu banyak berharap. Benda ini tidak berarti apa-apa bagiku.
      “Jangan juga terlalu jauh memandang maksud saya memberikan ini pada kamu. Kamu berhak menolak pemberian saya. Tinggal motivasi kuatmu atas penolakan kamu selain mengatakan ‘tidak berarti apa-apa’!” katanya nyaris menempatkanku kembali ke keharusan aku menjadi bocah ingusan melalui bujukan dan ketegasannya yang ia samarkan.
      Aku takut terjebak. Aku diam. Aku hanya ingin melupakan semuanya; keluargaku, bocah itu, gumaman si kakek, crayon, kamar remang, bule dengan cengkaraman tangannya, dan semuanya yang terus menumpuk.
      “Diammu tidak akan pernah memberi solusi bagi masalahmu yang selama ini kamu kunci kuat-kuat! Perkembangan apa yang kamu dapatkan selama kamu mengambil sikap seperti ini? Oke. Saya tidak menuntut! Ambil atau tidak? Saya butuh sikap tegasmu!”
      Aku kembali menang dengan sikapku. Ia berlalu dengan sejuta rencana barunya atas diriku. Menang? Untuk kekecewaannya, ya! Tapi aku digoyahkan kembali oleh kilasan-kilasan silam itu. Aku tak henti-hentinya bertanya tentang hakekat sebuah kepastian atau hanya sebuah kebetulankah atas semua yang menimpaku. Aku terus terperangkap bukan saja oleh bayang-bayang masa lalu tetapi kilatan-kilatan kini dan mendatang. Ketika kepedihan itu satu demi satu menyeruak kembali, maka tak henti-hentinya terus kupertanyakan.
      Aku kesulitan dalam menempatkan diri pada sebuah kepastian. Ada kekuatan yang sukar kuelakkan. Jika ayahku menegaskan atas dua pilihan. Aku malah ragu atas pilihan itu. Aku ingin berlari menuju jalan panjang saja dan kutatap langit biar aku tidak terus bertanya tentang akhir sebuah perjalananku.
      Sejak dulu satu persatu harapanku dicabut dari kehidupanku. Dan semenjak itu aku merasakan hidup sendiri di tengah orang lain. Aku terus hidup sendiri dan terus dihimpit kilasan-kilasan silamku dan kilasan-kilasan yang akhirnya mengantarkanku ke tempat ini. Aku terus dilesatkan ke traumaku, ke empatiku, ke simpatiku, ke dendamku, ke gamangku, dan ke ambang keputusanku.

***

      Di dalam jeruji ini aku terus meraba-raba perjalanku. Seketika pikiran terpanggil untuk berada ke silamku dan aku tak bisa mengelak untuk memilih seluruhnya atas apa-apa yang ingin kujalani dan yang seharusnya kulalui.
      Lagi-lagi bayangan ayahku memaksa bersarang di otakku. Sesekali aku merasa tercekik dan sekaligus perasaan seketika muncul untuk melenyapkan bayangan itu. Lagi-lagi ia muncul. Aku bersembunyi dan bertahan.
Kutemukan bayangan diriku berwujud ayahku dalam bidang yang tak beruang di sebuah cermin yang tiada berkilau. Aku dan dia saling menatap. Gelimang silamnya masih tertoreh dari sepercik aura tubuhnya. Sorot mataku, separuhnya  mungkin adalah kejujuran. Sebagian helaan nafasku adalah sebuah kesangsian hingga malam ini. Biarlah malam kemarin dan kini sebagai bukti kebertahananku. Dan aku harus sanggup berketatapan hati bahwa malam ini adalah malam perjuangan terakhirku atas harapanku. Kalaupun ada yang lain atas perkiraanku, biarlah itu untuk aku yang lain! Mungkin juga bayanganku  dalam cermin tak beruang itu.
Aku harus belajar menentukan sikap. Aku yang seharusnya menjadi kendali atas diriku bukan aku yang lain yang menguasai diri dengan ketidaktentuannya.
Malam ini, mungkin Tuhan menunggu janji hati, selalu meminta ikrar. Maka aku kuatkan untuk menempuhnya. Ini malam perjuangan terakhirku! Ini akhir dari seluruh pertimbanganku! Dan ini malam   keputusanku!
Tidak. Ya....
Aku masih di antara bayangannya. Bayangan ayahku yang ingin kubentuk dengan kuasaku. Tidak ada pemakluman samsekali untuknya, meski sedikit memaklumi saat dia terpasung dan tergolek di atas kursi roda.
Aku tidak peduli dengan penyebab sakitnya. Tidak ada daya penguatku untuk menjadi peduli padanya. Aku memang berusaha mengimbangi ketidakpeduliannya padaku. Aku merasa dipaksa untuk turut menanggung dampak sakitnya.
Sesekali aku ingin refleksikan tubuh dan keberadaan mereka ke dalam diriku seperti yang sering ayah  lalukan. Aku ingin menuruti rasa penasaranku untuk mengetahui lebih lengkap tentang mereka dan cacatnya. Begitu besar semangat juang mereka untuk tetap menjalani hidupnya dengan kualitas primanya. Sesekali aku berbicara dengan ayahku. Maksudku untuk mengetahui juga semangat terdalamnya atas kondisi fisiknya yang mulai rapuh, lunglai pada kursi roda.
Ia banyak bercerita tentang Roosevelt, J.F. Kennedy, Beethoven, Stephen Hawking, atau bahkan Gus Dur. Ayahku bangga atas prestasi mereka. Aku tak bermaksud membandingkan dia dengan mereka. Di mataku, ayahku tak lebih dari sosok yang senang menatap bayangannya di cermin dan ia pinjam tubuh yang lain. Ia sering terkekeh setelah terhimpun keyakinan bahwa ia adalah mereka. Aku sendiri tidak tahu persis ia menjangkau seluas apa tentang mereka. Dan ketika banyak kutanyakan, ia kembali terkekeh. Membelakangiku dan menatap aku dan dirinya  lewat cermin itu.
Aku tidak tertantang untuk menyelami hatinya. Tetapi sedikit tahu saja tentang relung hatinya, akan memberi setitik benang pengaman atas diriku dalam banyak hal yang telah membuatku terjeruji.
Saat benang itu mulai terentang, kembali semangat itu tenggelam manakala ia mulai tertutup dengan kondisinya. Aku mulai bingung dan akhirnya banyak menerka. Ia terus diam. Pandangan matanya lebih menerawang ke masa silam. Sesekali saja ia bercerita tentang masa lalunya. Sedikit sekali. Itu pun sebatas pada apa-apa yang ingin dia sampaikan sebagai perbandingan dengan kehidupan yang aku jalani selama “bersamanya”. Aku merasa ia memasukkanku juga ke dalam cermin sebagai bayangannya. Dan kami kemudian terpaku saling menatap. Tidak pasti apa yang akan diungkap.
Aku dan ayahku bukanlah komunikator yang baik. Irama rumah begitu tampak statis. Seolah aku harus terus berjuang melakukan pendekatan demi sebuah keakraban. Komunikasi baru sedikit lancar ketika pemikiran kami terpicu untuk mengomentari sejumlah berita hangat dunia saat kami sama-sama menyaksikan tayangan berita aktual di seluruh stasiun televisi di negri ini. Selalu tidak ada kesesuaian pandangan di antara kami. Setelah itu, rumah menjadi senyap kembali. Senyapnya adalah untaian panjang yang terhubung ke dalam suasana di mana aku ditinggalkan mereka sejak kecil dengan alasan sebuah ambisi besar mereka.
Masa awal kebersamaanku dengan ayahku sesungguhnya hanya berkisar empat tahunan. Bertepatan memasuki SD, aku dititipkan di salah satu saudara ibuku. Ia lebih bersemangat melanjutkan studi S3-nya ke negri Belanda. Ia mendapat beasiswa dengan tanggungan istri dan satu anak dari pemerintah di sana. Walhasil, adikku satu-satunya ikut mereka. Begitu seterusnya, dari satu negeri ke negeri lain. Ia terus  berburu ilmu dan pengalaman di bidang management perhotelan. Sempat satu bulan di tanah air, aku mulai merasa asing dengan mereka. Dan bertepatan aku masuk bangku kuliah, barulah mereka kembali ke tanah air dengan membawa letupan-letupan ambisi yang sulit kumengerti. Menjelang penyusunan skripsiku, ayah terserang stroke, mengakibatkan bagian tangan dan kaki kanannya lumpuh.
Butuh waktu sekitar empat bulan untuk memperbaiki artikuasi yang sudah terganggu. Saat itulah, aku satu-satunya penghuni yang diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup ayah. Ibu yang telah ditempa dalam mengejar sebuah ambisi besar, akhirnya membuktikan hasilnya dengan secara lugas menyatakan ingin berpisah dengan ayah. Perceraian yang sepertinya buka terjadi secara tiba-tiba. Ayahku menjadi sosok yang lain bagi ibuku. Bencana itu lebih berpusat pada keliaran tanpa batas ayahku yang menempatkan ibuku menjadi korban kekerasan seksualnya. Tuntutan ibuku dikabulkan dalam persidangan. Aku kini terpisah dengan adikku juga.
Apa-apa yang menimpaku aku rasakan terlalu cepat menghampiri seluruh hidupku. Walaupun bukan menjadi harapan besar atas sebuah perubahan yang baik setelah mereka lama meninggalkanku, setidaknya aku masih sedikit menaruh harapan tentang apa-apa yang seharusnya aku dapatkan. Tetapi aku kembali dikecewakan.
Adakalanya pemikiran radikalku menyeruak ke permukaan dan ingin segera kuteriakkan. Aku tidak merasa berkepentingan dengan yang tergolek lemah di kursi roda. Giliranku yang harus nyinyir kepadanya. Sekali waktu ia berkomentar tentang keterbatasan fisik dalam konteks prestasi. Suaranya parau dan sinis sambil mempertanyakan keadilan: kenapa yang cacat fisik harus dihalangi, sementara yang cacat moral justru sering diterima?!!
Saat itu, aku ingin membentaknya dengan suara sinisku juga. Aku ingin meneriakinya bahwa bukan berarti yang cacat fisik terbebas dari cacat moral! Aku pendam teriakanku. Sepertinya aku akan lebih sakit jika kehilangan semuanya.
Sempat ia begitu bersemangat mencari web-site tentang anti diskriminasi. Ia tersenyum saat menemukannya. Setelah kutanyakan maksudnya, ia cukup menjawab bahwa semunya berhubungan dengan bisnis.
“Papa harus menguasai ini. Jangan sampai Papa sedikit tergelincir, urusannya jadi fatal!”
“Hotel bintang lima, apa bukan diskriminatif bagi bintang tiga dan melati atau bahkan gubuk pinggir kali? Tanyaku.
“Pertanyaanmu tidak pada konteksnya!” Sesaat ia kembali memeriksa data yang diperlukan.
Aku berlalu saja saat dia belum selesai dengan ocehannya tentang rencana-rencana selanjutnya. Aku muak ketika ia utarakan itu semua. Sementara ia asyik dengan pemikirannya, ia sangat lupa bahwa anaknya adalah korban diskriminasi orang tua sejak kecil. Aku tahan kekesalanku. Biarlah sisa kebersamaanku dengannya menjadi hakku. Aku tidak mau kehilangan semuanya. Paling tidak, aku tidak sendiri, walau secara fisik! Batinku saja yang terus mencari kelengkapan hati.
Sudah lama ibu dan adikku tak pernah menghubungiku. Aku kehilangan jejak. Tidak ada nomor aktif yang aku miliki lagi dari mereka. Untung saja, aku masih berlega hati saat melihat foto adikku dimuat dalam sebuah surat kabar. Ia berfose bersama rekan-rekannya yang terlibat sebagai female promotion untuk sosialisasi pemasangan sabuk keselamatan.
Aku mencoba menghubungi redaksi surat kabar itu. Salah seorang staff humas yang menerimaku hanya menganjurkanku untuk menyimpan identitasku beserta nomor HP. Ia bermaksud meneruskannya kepada adikku.
“Ia tahu nomor saya. Saya yang perlu nomor dan alamat dia!” Nadaku sedikit meninggi. Kinesis matanya mulai menyelidikiku.
“Maaf, Mas.... Kami punya aturan. Tinggalkan saja identitas Mas.” Ia berlalu menuju ruang belakang.
“Saya kakaknya, Mbak!”
Wanita itu menoleh dan mengangkat kedua bahunya. Dalam hati aku meneriaki diriku sendiri.
Aku memang terbuang. Aku pertebal ketetapan untuk melupakan semuanya. Tidak aku hiraukan lagi bagaimana teman-teman kampusku menempatkan aku dalam sebuah imej.
 Aku berusaha melupakan. Kadang nyaris berhasil tetapi selebihnya pikiranku terus terganggu. Kembali aku teringat kepada seorang serse yang terkunci kata-katanya ketika kusebutkan nama ayahku. Semenjak itu kukikis terus pencarianku atas kelengkapan di rumahku. Aku saat itu menjadi pribadi yang selalu menawarkan masalahku kepada teman-teman di kampusku. Aku jajakan semuanya. Itu adalah pelarianku untuk mendapatkan perhatian orang banyak. Aku terlalu bosan dengan sepi. Biarlah di rumah aku menjadi bagian senyap, tetapi di luar aku ingin hadir dengan pribadi yang umumnya teman-teman miliki. Saat itu pula aku mulai terbiasa dengan clubbing. Guncangan di dalamnya banyak aku temui. Aku terus bertahan. Harta ayahku yang cukup berlimpah untukku sebagian raib seiring dengan aktivitasku. Pada acara campus party di sebuah tempat hiburan, aku kehilangan mercedesku, termasuk sejumlah uang dan KTM. Saat aku melapor ke bagian curanmor, seorang serse mencaciku. Ia malah menyelidiki identitasku dan orang tuaku.
“Di jaman susah gini.... malah KTM yang kamu permasalahkan!”
“Iya, Pak... tanpa KTM itu, tidak bisa ikut ujian sidang skripsi, dong!” kataku sedikit menahan nada  serendah mungkin.
“Oh, gitu, ya?!!! Artinya, kehilangan total 250 juta jika total dirupiahkan bukan berarti apa-apa buat kamu?”
“Bukan begitu, Pak. Untuk sementara ini, karena waktunya mendesak, saya perlu KTM, Pak! Setidaknya, saya butuh surat keterangan kehilangan KTM untuk disampaikan ke Universitas.”
“Baik. Tetapi saya perlu waktu lebih dari dua kali dua puluh empat jam untuk meminta keterangan dari saudara!”
Ia menanyakan banyak hal. Saat kusebutkan Elka, nama ayahku, ia terpaku. Kata-katanya tiba-tiba terkunci.

***




3

Pelarianku tidak membuahkan perubahan yang berarti. Aku tetap dikekang sepi. Kekangan itu berselang dengan lintasan-lintasan trauma silamku dalam sekapan seorang pengidap pedofilia. Ternyata semakin aku tumbuh dewasa, aku semakin menilai rapuhnya tanggung jawab ayahku. Aku semakin ingin menuntutnya atas semua kenyataan yang harus aku tanggung. Aku semakin keras terjerat akar kebencian yang telah lama menjalar perlahan sampai tiba pada sebuah keputusan: Aku harus pergi!
Secara fisik aku berdua di rumah dengan ayahku. Tetapi aku  sendiri. Aku tak mengejar lagi kelengkapan isi hati di rumah, tidak pula menjajakannya. Cukup aku tempatkan ayahku sebagai aktor besar yang hebat di rumahku dan seluruh masyarakat mengenalnya. Cih! Aktor hebat! Aktor yang kini tahta popularitasnya meranggas. Dulu dia boleh menunjukkan pribadi “kharismatik” dan “sukses”nya. Belakangan aku tahu, itu pepesan kosong!!! Keberhasilan yang ia tunjukkan hanya untuk masyarakat umum. Bagi keluarga sendiri itu kosong!
Kekosongan yang nyata, ketika dia banyak berkata tentang dunia pada masyarakat, ia malah mengunci komunikasi di rumah dengan memanfatkan kata lelah dan sibuk saat aku berniat membuka sebuah percakapan walau hanya mengangkat hal sepele. Segalanya sudah tampak berbenturan. Ia diam saat aku merindukan dinamika rumah. Ia tampak bersemangat saat aku enggan atau ketakutan mendengar materi ocehannya.
Adakalanya alat pengikisku menumpul. Aku hampir kehilangan tenaga untuk bertahan dengan ketetapanku tetapi aku diam-diam ingat; hanya tuturannnya ini yang aku ingat dan sekaligus ingin kulenyapkan.
Suatu ketika, sehari setelah ia tiba di tanah air, ia begitu bersemangat bercerita tentang film favoritnya di sana. Berkali-kali ia menontonnya. Awalnya aku tertarik dengan ceritanya tentang pertemanan antara seorang veteran Belanda berumur 80 tahun dengan pemuda Sudan yang sedang mencari suaka. Veteran tersebut telah menjadi seorang pemarah setelah kematian ayahnya. Sementara itu, pemuda Sudan itu tinggal secara ilegal di Belanda yang kerjanya hanya berkeliling di sekitar daerah padang rumput kerena mengingatkannya pada negeri asalnya. Ketika mereka pertama kali bertemu, terjadilah pelecehan.
Kata terakhir itulah yang tidak ingin aku dengar. Ayahku cukup yakin dengan dugaan dirinya bahwa aku baik-baik saja, tak kurang apapun selama ia meninggalkan tanah air.
Ia terus menceracau dengan kisah-kisahnya. Seolah ada upaya menumbuhkan kepastian hatiku agar aku mampu bergelut di bidang sinematografi. Ia terus bercerita. Kadang-kadang suaranya aku tangkap sebagai desiran ular yang berbisa. Sesekali berubah seperti lolongan anjing. Aku masih bertahan karena ada bagian-bagian ceramahnya yang aku butuhkan untuk kepentingan studiku.
“Kalau kamu berminat, suatu saat Papa kenalkan kamu kepada Jan Banning. Fotografer yang mulai terkenal dari Nederland. Papa sempat ngobrol lama dengan dia.” Ia menghampiriku. Memeriksa isi dompetnya kemudian mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya kepadaku. “Ia sedang menjalankan proyek besar tentang jejak perang. Bahkan itu berhubungan dengan negri kita. Sekedar cari pengalaman saja, kamu boleh mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang kinerja dia. Katanya ada dua puluh empat laki-laki yang sedang dan akan dia foto dan wawancara. Kedua puluh empat lelaki tersebut pernah menjalani kerja paksa pada salah satu jalur kereta api Burma dan Pekanbaru. Lima belas orang mantan tawanan perang-kulit putih dan indo di Belanda, satu orang di Jakarta dan juga delapan orang mantan romusha dari Sumatra dan Jawa. Proyek ini memiliki titik awal yang sangat pribadi. Kakek Banning dipekerjakan di Jalur Burma, ayahnya di jalur Pekanbaru. Papa diperkenalkan oleh fotografer interior kenalan Papa. Kebetulan Banning tiga bulan mendatang akan singgah di Jakarta untuk proyek itu. Siap menambah pengalaman?”
Aku tersenyum seadanya. Tak ingin air mukaku berterus terang tentang pengalaman traumatik dengan pengidap pedofilia yang jelas-jelas aku tahu kemudian ia berkebangsaan Belanda.
Aku semakin membatasi diri dan berusaha menghindar secara apik untuk urusan perkenalan dengan bule kenalan ayahku itu. Perbincangan dengan ayahku sengaja terus aku arahkan ke pembahasan sinematografi di Eropa. Tidak untuk hal yang bersifat pribadi.
Ambisinya atas diriku, ia rasakan tak disambut baik olehku. Suatu ketika ia marah.
“Kamu sudah membuang satu peluang untuk pengalaman karier kamu ke depan!”
“Aku tidak bisa menemui dia, Pa!”
“Papa malu sama Banning.”
“Kenapa harus malu?”
“Hanya karena kamu, dia bisa pandang semua pemuda Indonesia gak punya etika seperti kamu! Jelas-jelas sepakat datang di pertemuan itu, ini malah cuek!”
“Kalau begitu aturannya, aku bisa lebih kasar menilai bule itu dan bangsanya!
“Ketika aku di Eropa, aku masih membayangkan kamu anak yang santun. Tidak seperti ini!”
“Jangan pernah yakin atas perkiraan Papa selama ini atas diriku. Jauh sebelum aku mengerti tentang moral, sopan-santun, dan harga diri, aku sebenarnya telah lama dihancurkan oleh semuanya. Dan papa turut andil atas kehancuranku itu.
“Tapi Papa tidak membesarkanmu untuk menjadi anak seliar ini!”
“Apa dengan meninggalkan aku sejak kecil, ada jaminan bahwa aku mendapatkan kelengkapan secara mental untuk menjadi anak yang santun, punya harga diri, dan bermoral? Papa boleh tersenyum di negeri orang dengan kepercayaan diri yang tinggi dan terus mengabarkan ke setiap orang di sana bahwa Papa kebanggaan anak negeri ini. Tetapi pernahkah terlintas di pikiran papa bahwa di negerinya sendiri, ada anak bangsa yang sedang terus menangisi diri dan negerinya!”
“Apa maksud ini semua? Kenapa bawa-bawa nama negara segala?”
“Karena aku bagian dari sekian banyak warga yang harus menanggung pedih karena kelalaian. Dan Papa yang paling mungkin sebagai salah satu pelaku kelalaian itu!”
“Apa maksud kamu?”
“Aku telah lama dihancurkan oleh mereka yang mengagungkan sebuah peradaban!”
“Jangan ngawur kamu!”
“Papa yang ngawur! Aku mengalami ini semua karena aku tidak pernah  Papa kenalkan dengan yang disebut sopan-santun, moral, dan harga diri! Papa tidak pernah mengajarkan aku untuk membangun sebuah harga diri dan mempertahankannya. Bahkan sejak kecil, aku tidak mengerti tentang keselamatan hidup yang seharusnya aku perjuangkan!!!”

***

Kesunyian itu semakin memenuhi seluruh ruang rumahku. Dalam pergulatan pemulihan dan pesimisnya pada sebuah kursi roda, Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk nonton film. Koleksi VCD-DVD-nya makin menumpuk. Gejala percintaannya dengan wanita dunia maya semakin tampak. Tidak banyak yang kuketahui tentang perjalanan hidupnya di Eropa. Tak sedikit pun ia bercerita tentang ibu dan adikku saat kebersamaannya di sana. Tetapi sesekali ia menyebutkan nama Tia yang belakangan aku tahu itu adalah pacar lamanya, saat ia remaja.
Saat aku mulai praktik lapangan berbulan-bulan di sebuah kota, aku baru tahu ada sorot mata yang sedikit sama dengan tokoh wanita dari film yang setia ditontonnya. Sejak saat itu, aku mulai berani meningggalkan ayah untuk jangka waktu yang lama. Nama yang sesekali disebutnya, dipanggilnya kembali untuk menjadi pelayan setia di rumah.
Sebelum hari pertama menempati kamar kost-ku, aku sempat mengucapkan kata peringatan yang terlontar begitu saja.”Hati-hati dengan dunia maya!” kataku datar.
Ia tersenyum entah memaknai sejauh apa. Wanita itu mendorong kursi rodanya mengikutiku sampai ke muka halaman.
“Seminggu sekali lebih bagus!” katanya.
Aku tidak bereaksi. Dalam hatiku saja berbisik bahwa belum tentu dalam setahun jumlah jari tanganku kananku terlipat habis untuk menghitung kepulanganku.
Aku melaju dengan mobilku, menjemput sebuah kesendirian nyata.

***

Tidak ada keterampilanku untuk menata kamar baruku di lingkungan kost itu. Barang-barang yang kubawa masih tertumpuk di sudut kamar. Biar saja ini menjadi awal hidup baruku. Sebentar lagi aku memasuki dunia kerja. Dunia baruku harus menjadi awal kebiasaanku.
Kuhubungi satu-satu temanku yang mulai merintis bersama sebuah produksi film independent. Sembilan belas orang bagiku terlalu banyak! Aku pilih kembali hingga kuputuskan untuk meyakinkan kelima orang temanku dalam produksi tersebut.
Dalam sebuah perjalanan menentukan lokasi shooting, kami perbincangkan segalanya. Nada penuh semangat dan tawa lebar tak henti-hentinya menahan kami dari kantuk pada sebuah perjalanan panjang. Aku sekedar berpartisipasi saja agar dukaku tidak merusak suasana. Aku serap kegembiraan mereka untuk menenggelamkan kesesakan selama ini. Sesekali aku turuti juga bujukan Nesya, satu-satunya temanku yang kemampuan mendengarnya bagus sekali. Aku dianjurkannya agar mulai terbiasa mengenakan minyak wangi, walau sedikit saja, untuk memapah pikiran positif, katanya.
“Gue dah dapet calon aktrisnya!”
“Siapa?”
“Ada deh! Lu jagoin siapa dulu... baru nanti gue sebutin!”
Oke... gue punya si Waci.... ha...ha...ha....
“Nglantur!”
“Tokoh negrito diperanin sama si cina, perfekto..! Seru juga kali ya?”!”
“Eh... tunggu.... ide bagus tuh!”
“Trus kalo gitu ngapain kita repot-repot ngonsep. Dasar elo!!!!
“Ya udah. Trus siapa?”
“Gue jagoin si Mel!”
“Si Mel? Oke juga tuh. Tapi gue punya best of the best, Andin! Wataknya jelas. Nyambung banget buat tokoh si Berta.”
“Tapi si Mel, tantangan buat kita. Boleh juga sih cari gampangnya. Gue yakin si Mel bisa!”
“Bener juga lho. Si Mel jika digarap dengan serius malah mungkin bisa lebih mantep actingnya daripada si Andin. Malah Julia Robert juga lewaaaaaat, ha...ha...ha...ha...”
“Aktornya dong!”
“Gue punya si Andre.”
“Gue si Utomo”
“Ngaco lu! Bledak-bleduk medok dong!”
“Gue siap jadi dubbernya”
‘Gak pake dubber-dubberan!”
“Kalau gitu si Helius aja.”
“Setuju. Antara si Andre dan si Helius. Ntar kita rembuk lagi. Lokasi udah di depan kita. Turun Yuk!”
Kami tiba di sebuah pertokoan Cina. Mata kami langsung terpusat pada sebuah toko megah dengan warna dominan merah dan emas.
“Pas buanget dengan yang gue pikirin!”
“Tuh kan... artinya si Waci juga dipake kan?!!!”
“Ya, tapi peran sekelebatan doang!”
“Lho?”
“Iya... lah. Ini setting kan buat adegan si negro dan si bule makan bareng di sana. Ada kesalahpahaman. Salah satu pelayannya kena getahnya. Emang cocok juga si Waci. Dia nanti yang dibentak-bentak si negro! Nah, salam sama si Waci dari gue yah!”
“Ya ...elo!”
“Habis Waci...Waci melulu!”
“Udah kita masuk!”
Kami berbincang sebentar dengan pelayan. Ia dengan ramah kemudian mempersilahkan kami menemui managernya. Esok harinya kami harus beralih menuju rumah sakit. Ada sebuah adegan yang aku benci nanti di sana. Sayang  skrip utuhnya sudah final. Perubahan kecil bisa ditolelir. Tetapi  jika aku keberatan atas adeganku itu, berarti aku telah merubah total alurnya sebab inti konflik cerita berpusat pada masalah yang aku takutkan.
Aku kadang mengingkari semua di hadapanku sebagai suatu kenyataan. Aku paksakan itu semua sebagai sebuah kebetulan saja. Ternyata tidak. Semua seolah ada garis penghubungnya. Aku sempat bersitegang ketika menentukan tema utama yang akan diangkat dalam produksi filmku. Aku satu-satunya yang tidak setuju. Ketika mereka mempertanyakanku, aku menjawab bahwa tema tersebut tidak mampu dikuasai sepenuhnya. Dan semuanya sepakat akan belajar melalui proses. Malah salah satu dari temanku menganjurkanku untuk mengambil bagian dari penelitian awal tentang pengidap pedofilia. Tentu saja aku terhenyak. Aku kembali disinggahi rasa trauma.   Saat itu aku diam saja. Air mukaku kutampakkan sewajar mungkin. Ketika mimikku sedikit kaku menahan riaknya, aku segera mengalihkan pembicaraan. Aku terselamatkan oleh pembicaraan penentuan lokasi shooting.
Di rumah sakit, kami dipersilahkan masuk ke ruang perawatan khusus bagi pasien korban kejahatan seksual. Kami masuk ke kamar 108. Tiga sosok kecil usai diperiksa secara medis. Mereka kemudian dihampiri seorang wanita yang memperkenalkan diri sebagai psikiater. Padahal kami mengenalnya dengan baik lewat media masa. Salah seorang petugas mempersilahkan kami untuk menunggu sebentar di luar. Ia menjanjikan akan mempertemukan dengan psikiater yang menangani pasien tersebut.
Aku lebih lega berada di luar kamar pasien. Teman-temanku tampak tidak sabar. Aku malah berharap survey ini cepat berlalu. Sepertinya sebuah pemaksaaan. Mengapa juga mereka mencari kamar sesungguhnya dari pasien korban pedofilia padahal banyak kamar yang lebih menantang untuk diset sesempurna mungkin.
“Kadang kita terlalu mencampuradukkan schedule yang satu dengan schedule yang lain. Sudah jelas kita cari lokasi... koq malah repot-repot ingin ngobrol dengan prikiater. Mereka kan tidak dilibatkan dalam pemeranan di film ini kan?!!!”
“Gak ada salahnya! Gak ada ruginya! Sulit lo kita bisa diberi kesempatan ketemu dengan dia. Psikiater kondang lagi! Lu denger sendiri kan.... malah dia yang bermurah hati menyediakan waktunya untuk kita setelah memeriksa pasiennya.”
“Ya udah... gue hanya ingin tertib aja. Proses pembelajaran, oke! Gue setuju! Gue cuma pengen tertib aja. Gak lebih!”
“Elo gak bisa kaku gitu dong dengan schedule. Ini kesempatan kita nambah wawasan.
“Kalo gitu belum fix dong skenario yang kita buat?!!!” aku sinis.
“Pada dasarnya sudah. Sambil jalan juga gak ada salahnya. Kekurangan di sana-sini bisa cepat kita perbaiki. Gimana kita mampu mengarahkan si Mel, si Andre, si Helius kalo kita sendiri bego dengan hal mendetail tentang pedofilia.”
“Iya deh gue maklum,.... Kerja keroyokan gini gak jelas juga siapa sutradara, sipa bagian casting,    siapa ...”
“Udah deh.... stop pertikaian! Kita udah setengah jalan nih. Kalo memang niat bubar kenapa nggak dari awal-awal saja?!!!!”
Semua diam. Dari arah kamar 108 pintu terbuka. psikiater yang ditunggu menghampiri kami. Ia menawarkan pilihan untuk berbincang di kantornya atau cukup sambil berjalan saja hingga masuk ke ruang parkir. Aku segera mengambil inisiatif untuk bertemu di kantor saja.
“Maaf sekali... kalian lama menunggu ya. Atau sebentar saja kita ngobrol di sini, sisanya kita sambung di kantor saya. Besok, lepas jam dua siang saya cukup banyak waktu untuk ngobrol dengan kalian.”
“Biar besok saja. Sekarang kami akan memeriksa lokasi dulu. Terima kasih, Bu!”
Kami segera kembali ke dalam. Kepala rumah sakit dapat kami temui. Dia memberi sedikit pengarahan. Kami diberi kesempatan untuk melakukan shooting hari Sabtu dan Minggu.
Dua hari itu bagiku terlalu berat dan lama dibandingkan dengan kesanggupanku berbulan-bulan menghimpun seluruh teman untuk terlibat dalam produksi itu. Sudah kuputuskan untuk melewatkan dua hari itu. Aku akan muak dengan pengambilan adegan pada dua hari itu. Screenplay yang kami buat pada salah satu adegan di sebuah ranjang pasien mengclose-up bagian mata bocah yang polos menceritakan kronologis saat dia menjadi korban pengidap pedofilia.
Saat latihan untuk adegan itu, aku berulang kali kecewa. Sebuah adegan yang nyaris gagal total. Bocah itu belum mampu mewujudkan ruh sesuai skenarionya. Sekali saja aku berkomentar tentang semua kelemahan mata yang tak berruh itu, seketika itu juga mereka mempertanyakan pengetahuanku sesungguhnya. Aku jelaskan bahwa efek psikologis yang tertanam hebat dan cukup lama bisa terbaca lewat mata yang mengalaminya. Atas penjelasanku, mereka mulai iseng menyelidiki ruh mataku. Seorang teman nyeletuk,
“Kalo elo ngijinin, pinjemin aja mata elo buat bocah itu. Kayaknya mata lu itu lebih punya ruh untuk penggambaran efek psikologis yang kita perlukan.”
“Terima kasih.” Suaraku datar saja. Aku sembunyikan dalam-dalam kekhawatiranku. Aku ingin mengabaikan pancingan itu. Segera aku bereskan perlengkapanku. Akan ada banyak dialog yang membuatku remuk. Akan diuraikan banyak pandangan dari mereka tentang varian ekspresi yang diinginkan  atas bocah tersebut. Aku tak akan bertahan lama sebab pembahasan akan mengarah kepada penggambaran fisik dan watak tokoh pengidap pedofilia itu. Tapi aku tidak mau menghancurkan apa yang telah aku rintis. Ada masa depan yang terbuka lebar untuk bidang ini, terlepas dari kru kami lolos atau tidak dalam seleksi Festival Film Indefendent tahun depan. Satu sisi aku ingin benar-benar membuktikan bahwa kami punya talenta yang bagus untuk dikembangkan. Di sisi lain, selalu saja ada ganjalan besar yang bersarang di jiwa ini.
Aku tidak cukup kuat untuk memaksakan pengubahan tema. Konsep yang dibuat sudah menampakkan keseriusan rekan-rekan walaupun belum disebut matang. Tanpa keberanian untuk memulai ini semua, aku malah akan semakin terlempar ke dasar kesunyian.
Di mataku, si Andre tidak sedang memerankan tokoh lain tapi dirinya. Ia tampak begitu alamiah memancarkan aura tubuhnya dalam setiap adegan. Tidak banyak yang perlu diarahkan untuk penguasaan pemeranannya. Ia secara mantap memancarkan mata penuh siasat saat adegan membujuk seorang bocah calon korbannya.
“Dre, luar biasa lu!”
“Gue gak mau setengah-setengah. Gak salah kan kalian milih gue?!!”
“Hebatnya lagi, lu pemancing emosi yang jitu. Liat aja bocah itu. Dapet deh mood-nya!”
Mataku kian kemari mengikuti gerak tubuh kedua pemain itu. Bocah itu tampak benar-benar terbujuk. Si Andre jongkok. Tepat mukanya berhadapan dengan muka bocah lugu itu. Cukup dekat. Gerak bola matanya mulai menggerayangi seluruh tubuhnya. Bocah itu tersenyum. Perlahan aku melihat pemuda itu menggerakkan tangannya. Jari-jari yang memancarkan kelihaian dalam melakukan tindak pencurian seketika terhenti kaku tepat sebelum menyentuh bibir bocah itu.
“Cut!” teriakku.
“Ada yang kurang?” katanya datar masih menahan posisinya.
“Apa lu merasa yakin dengan gestuurd dan tatapan lu seperti itu, si korban tidak bakalan menolak?!! Emosi lu tuh ya jangan diumbar! Tetep kontrol dong!”
Sepertinya hempasan udara panas bersarang di mukaku.
“Oke!” Katanya. Ia berdiri menumpukan sebelah tangannya ke dahan pohon yang menaungi kedua pemain itu.
“Break dulu untuk hari ini!”
Ia perlahan menghampiriku. Rokok yang mulai menempel di mulutnya, panjang sekali ia hisap.
“Interpretasi gue dengan elo bisa jadi beda. Jika diwajibkan sebuah kesamaan, aku mau belajar banyak nanti malam dari elo. Ada waktu?”
Aku tatap tajam matanya. Aku lebih banyak berteriak dalam hatiku. Lagi-lagi aku pertanyakan tentang hakikat sebuah ketentuan atau sebuah kebetulan. Aku terus terperangkap bukan saja oleh bayang-bayang masa lalu tetapi kilatan-kilatan kini dan mendatang. Aku perlahan mencium lengan bajuku sekedar memastikan wangi floral wood berpadu aroma citrus dapat berpengaruh baik untuk suasana hatiku.
Lambat laun wangi itu menjadi begitu menusuk bercampur dengan keringat gamang dan takutku dan perasaan tertantangku. Satu-satunya yang melekat kuat adalah bau tubuh-tubuh mereka. Aku mual.
Kebencianku mulai subur atas Simon, Andre, Mozes, dan bahkan untuk ayahku sesaat puncak sensasiku menyeruak selepas kudapatkan gairah di dalamnya. Seketika itu pula aku berlari mencapai penyelamatan diri untuk sedekat mungkin dengan Nesya. Agresivitasku yang bagi Nesya sendiri mungkin akan dianggap kurang alamiah walaupun dalam ekspresi spontan sekalipun pun. Tetapi aku terus berjuang untuk itu.
Ketika kepedihan itu satu demi satu menyeruak kembali, maka akan berbanding lurus dengan tak henti-hentinya aku protes atas kenyataan ini.
Sebuah ketentuan atau kebetulan? Aku terus mencari jawabannya. Kalau jalan hidupku adalah ketentuan, apakah aku harus memerankannya dengan baik atau masih ditolelir ketika aku putuskan untuk berada di rel yang lain. Atau malah aku dapat menawar ketentuan lain yang ingin aku jalani. Adakah penawaran lain atas sebuah ketetapan???
Jika ini semua adalah sebuah kebetulan, mengapa bayangan itu adalah sebuah untaian panjang yang terus melilitku. Dan siapa pula yang bermain-main atas kebetulan milikku itu? Kalau ada yang menggerakkan dan menguasai tubuhku, kenapa semua harus terpaku kepada jati diriku... Masihkah   identitasku menjadi milikku atau sesekali boleh kutanggalkan?
Aku sangsi atas keduanya. Mungkinkah dalam ketidakberhakanku atas keduanya, aku harus menjemput salah satunya? Jika demikian, samasekali keduanya memerangkapku. Aku tetap tak berdaya.
Pertanyaan itu sering mengganggu konsentrasiku. Ketika itu sampai di ujung kepalaku, maka aku sering merasakan semakin dekat dengan sebuah keputusan. Sejak dulu aku ingin melewatkan fase hidupku sesungguhnya. Aku ingin melompat begitu saja pada akhir fase, sebagai tua renta. Itu kupikirkan sambil menunggu waktu mati saja. Akan kumaknai akhir seperti apa; akan kurasakan akhir bagaimana.
Aku paham, masih akan banyak skenario hidup yang ditawarkan kepadaku. Dan kuputuskan tak satu pun kuterima untuk kumainkan. Aku mulai lelah untuk itu semua. Bahkan sebelum produksi film itu tuntas, aku goreskan pada dinding kamar bekuku. Kunyatakan pada semuanya bahwa tak ada lagi sulangan yang mampu menjemput sepakat kita. Aku adalah diam, kalian adalah hening. Dan kita yang telah lama lenyap.

***

Tiada muncul perasaan istimewa, tidak pula perasaan yang sederhana. Filmku mendapat tiga award. Salah satunya yang kutangani, kategori penyutradaraan. Terlintas, aku harus segera menghapus ukiran di dinding kamarku. Aku mendapat sedikit kehangatan hidup. Mulaikah aku menjemput kepastian di rel yang lain?
      Ternyata masih kabut hitam yang menyerupai jaring maha besar. Aku tidak bisa mengelak semua wawancara dari berbagai media. Sulit juga membatasi interaksi dengan peminat, pemerhati, kritikus karena aku tonggak dari  seluruh keberhasilan penggarapan film tersebut. Sebagian jiwaku ada dalam film itu. Gambar-gambar yang dihasilkan di dalamnya sesungguhnya adalah artikulasi dari jiwa terdalamku.
      Ketika kucoba hubungi ayahku lewat telefon, dia mengatakan bangga dengan ucapan yang terbata-bata. Ia terisak. Aku pun terpagut dalam pencarian rasa yang sama.
“Sempat Papa memilih diam…” katanya parau. Aku mulai terjangkiti suasana hatinya, ”saat tertawan seribu jalan. Dan gelisah saat semuanya lenyap. Papa… Papa terpaku saat Tuhan memberi dua pilihan.” Yang terdengar kemudian isak yang coba ia sembunyikan.
      Selama dua puluh empat tahun, ini pertama kalinya aku merasa dipapah dalam perenungan hidup olehnya. Tapi aku belum merasa pasti arah ucapannya. Dalam isaknya, masih kudengar kata “Tuhan” dari bibirnya.
      Aku lama tertegun. Aku refleksikan rentanya dengan rentaku mendatang. Problema yang berbeda. Sukar kujajaki perasaanku nanti. Rasa kini pun sukar kutempatkan dalam kepastiannya. Aku yang terus dibayangi seluruh gerakku oleh kekuatan yang sukar kuelakkan. Jika ayahku menegaskan atas dua pilihan, aku malah buta atas keyakinan untuk itu. Aku ingin berlari membentuk jalan panjang saja dan kutatap langit saja biar aku tidak terus bertanya tentang sebuah akhir perjalalanku. Aku ingin dari sejak tubuh kecilku hingga melompat ke tua rentaku saja kelak.
      Saat kecilku, sebelum aku tahu ada kejahatan yang siap menghancurkanku, mungkin kata-kata ayahku itu yang seharusnya kudengar sejak dini, akan aku maknai lain. Yang kurasakan, dulu adalah kemerdekaan, walaupun sesaat. Bukan lagi banyak pilihan atas yang menjadi begian hidupku akan tetapi semuanya ditawarkan kepadaku. Baru kemudian satu persatu itu dicabut dariku. Dan kurasakan betul aku kehilangan mereka. Aku tercampakkan.
Dan semenjak itu, kesepianku mulai merangkak. Panawar yang cukup kuat mengalihkan kerinduanku pada mereka tidak lain adalah menghabiskan waktu untuk bermain dengan teman-teman seusia.
Tanteku paling tidak peduli terhadapku. Ia akan lebih gelisah ketika kehilangan pelentik bulu matanya atau alat kosmetik lainnya dibandingkan dengan  ketidakpulanganku selama beberapa hari. Selebihnya adalah kegembiraanku melakukan sebuah perjalanan panjang walau harus bersusah payah mengejar pick-up kosong atau bus tanpa harus khawatir mendapatkan peringatan-peringatan pedas dari tanteku.
Mungkin yang menakutkanku adalah sopir-sopir dan kondektur bus yang sering membentak aku dan teman-teman karena aku minta turun di mana saja atau nekad turun saat mobil melaju cukup cepat.
Sekali waktu aku kalah gesit dengan mereka. Akhirnya aku kerepotan untuk menyebrang di sebuah perempatan yang begitu hiduk-pikuk. Untunglah, seseorang memegang erat tanganku dan membawaku menyeberangi jalan itu. Baru tiga langkah untuk mengejar mereka, tangan kuat itu menahanku. Ia tersenyum.
“Besok juga masih ketemu mereka kan?” katanya.
Aku spontan mengangguk. Kulihat teman-temanku sudah menghilang di sebuah tikungan terhalang gedung tinggi.
Ia menawariku untuk membeli minuman segar pada sebuah toko yang ia tunjuk. Aku diam saja. Ia pun menuntun aku  menuju toko tersebut.
Peluh seputar kening dan hidungku ia usap dengan saputangannya. Aku masih remang-remang ingat akan sejumlah kenalan ayahku yang sesekali singgah di rumahku. Nada bicaranya terdengar sama dengan mereka.
Ia tusukkan sedotan teh kotak dan segera ia memberikannya padaku. Ia terus tersenyum.
“Senang menggambar? Om punya banyak crayon. Mau?” katanya datar. Kemudian ia bercerita banyak. Aku sesekali mengangguk. Selang dua hari dari pertemuan itu, aku telah menikmati kenyamanan sebuah perjalanan. Ia bawa aku keliling kotaku.
Akhirnya aku harus menangis atas peristiwa itu. Tidak henti-hentinya.
Sebuah kamar cukup bagus pada sebuah penginapan di suatu malam telah menumbuhkan kebencianku atas peristiwa itu. Yang kurasakan sakit yang maha pedih. Pria itu membujukku untuk tidak menangis lagi. Perlahan ia bangkit menuju laci-set yang mengapit ranjang. Ia membuka laci dan mengambil dompetnya. Ia selipkan dua lembar uang sepuluh ribuan ke saku kemejaku.
“Sekarang kamu harus segera tidur. Sudah malam sekali!”
Aku meringis. Rasa sakitku mengabaikan perintahnya. Tapi  tangisanku mulai kutahan.
“Anak laki-laki gak boleh cengeng!”
Pria itu segera mematikan lampu utama dan menyalakan lampu duduk. Ia berbaring kelelahan sementara aku terisak menangisi diriku sendiri yang tidak mampu berontak, melarikan diri atau bahkan menolak bujukannya sekalipun.
Mulai saat itu, perlahan jiwa mulai terbina atas sebuah ketidakpastian. Menginjak kenyatan awal traumatikku (kepastiankah?), aku tidak mengerti saat itu. Yang kutahu ada rasa sakit yang dalam; lebih dari sebuah tamparan. Aku seolah dilemparkan ke sebuah jurang yang senyap beriringan dengan aku mendapat sebuah ayunan singkat ke angkasa. Tubuhku melambung ringan dan seketika aku tersedot ke bawah. Aku terhempas keras.
Semenjak peristiwa itu, ia menghilang. Saat itu aku sama sekali tidak mengerti tentang kejadian itu. Sesekali aku merasakan  ada yang bertumpang tindih. Di jalan yang sama saat aku disebrangkan oleh pria itu, di situlah aku selalu berusaha kembali menemukan sosoknya. Mengamati sosok yang mencolok dari warna kulit di antara kulit-kulit sawo matang ataupun besar tubuhnya. Menjelang remaja, aku baru merasakan kesesakan yang nyata. Aku jatuh karena kedunguanku. Aku tertatih-tatih karena merasakan kegamangan. Daya untuk mengubur dalam-dalam peristiwa itu sepertinya lebih besar dibandingkan dengan perjuanganku untuk memulai sesuatu yang nyaman. Tetapi kedua-duanya lenyap begitu saja manakala aku mulai merasakan kebutuhan yang aku tidak mengerti tempatku dalam menembus kenikmatan sebagai subjek berselang menjadi objek. Dan semenjak itu pula ada yang selalu bersarang dalam setiap helaan nafasku. Dia dan pisau matiku. Aku ingin menikamnya bertubi-tubi sampai aku mendapatkan kemenangan yang tak tertangguhkan atas tragisku.
Setelah kurentangkan benang merah masa kecilku, tak kudapatkan perkembangan mencolok untuk meraih kemenangan itu. Aku kini mengulur kembali benang itu, sekedar menetapkan hati bahwa suatu saat tragisku bukanlah jerat bagiku. Tak ingin suatu ketika ia melilit tubuhku sampai lidahku menjulur dan mata nanarku menuntut sebuah keadilan!
***

Hampir setiap malam aku menjadi terbiasa, seperti juga ayahku dalam rentanya selalu menanti sebuah kesyahduan. Aku mencoba menawar silam dalam sebuah alur imajinasi yang kukehendaki. Mengapa tidak saja dulu aku terlahir menjadi bocah yang serba terbatas secara materi tetapi cukup mendapatkan kehangatan jiwa. Kumau tubuhku kedinginan tetapi tidak untuk jiwaku.
Aku terus berjalan. Sekali terlintas, langit akan kujadikan hamparan luas di mana aku dapat tegak berdiri. Dan langit di atas tidak tergantikan oleh samudra atau ribuan pulau. Biar semuanya adalah angkasa yang siap menyambut ketakutuhanku.
Aku harus mencari hakekat yang telah terhimpun dalam hamparan lahiriahku di muka bumi ini.
Aku dan ragaku diam. Ingin kumaknai sebuah perjalanan panjang pada sebuah kelam. Sepertinya itu adalah sebuah awal jawaban saat aku gamang dengan ketidakberdayaanku atas sebuah ketetapan atau atas sebuah kebetulan.
Sama halnya dengan lintasan batinku atas angkasa, aku gariskan, malam panjang itu layak untuk tidak kutukar dengan apapun. Tetapi akupun sempat ragu bahwa malam itu mungkin tidak  akan pernah kutuntaskan.






4

Inikah perjalanan panjang kelam yang aku tunggu? Inikah benih pertama semangatku yang tertanam perlahan melalui keajaiban sebuah senyum dan tawa ringan? Padahal kami sama kebingungan untuk menentukan tujuan akhir dalam sebuah perjalanan panjang. Inikah cahaya kejelasan yang menuntunku kepada sebuah kesiapan menentukan arah hidupku dengan segala resikonya?
“Gini aja. Jangan Bingung. Ada kartu. Kita tentukan saja dengan ini. Adil kan?! Siapa yang dapat kartu gede, dia yang berhak menentukan perjalanan kita hari ini, OK?”
“Gak masalah! Tapi apa semuanya bisa enjoy dengan keputusan perjalanan ini? Jangan-jangan kita dibawa ke sebuah ambisi pribadi. Gue gak mau!”
“Gak papa! Sing penting kita bisa menembus belantara kenikmatan.”
Aku terkesiap. Itu adalah kata-kata yang pernah terlintas di benakku. Nyaris sebuah tiruan yang diatasnamakan sebuah dinamika kultur dalam bertutur.
 “Trus gimana, mau pake kartu? Seru juga lo! Nih elo ambil satu. Elo satu. Eit... jangan coba ngintip. Elo.... Gue ini!”
“Yu... siapa pemenangnya? Bu...ka... Elo?
“sepuluh kriting”
“Elo?
”Lihat aja sendiri...”
“Wah... gile dapet queen hati! Tapi belum ngejamin. Masih ada King.
“Sial! Ha...ha... dapet dua!”
“Gu....e... Aduh... Udah deh, queen hati menang!”
“Ke mana kita pergi?”
“Lho diam? Ayo yang bikin kita happy gitu lo!”
“Sing penting nggak bikin kita repot. Cape!”
“Ke mana...?”
Aku diam. Salah satu teman perempuanku terperanjak.
“Wiiih.... jagung bakar! Berhenti dulu dong Jo!”
“Apa kita nggak kemaleman nanti?”
“Nyampe subuh-subuh, kayaknya asyik juga tuh.”
“Ya wis. Ditikungan depan juga masih banyak yang jualan.”
“Bener? Gue jadi curiga ama elo, Rio! Tiap gue pengen berhenti, elo pasti ngalangin. Enggak mau jauh-jauh dari gue ya? Kangen terus?”
“Ya... dampak perut kosong, ya lari ke curiga!”
“Makanya biar nggak berprasangka jauh, kabulkan permintaanku, Yang! Gue traktir semuanya. Tapi tetep ada syaratnya. Elo-elo wajib ngasih komentar yang jujur tentang skenario baru gue yang elo-elo pade udah baca.”
“Bahwa di dunia ini ternyata nggak ada yang gratis. Ceritanya aja gratis. Kok ada syaratnya.”
Aku hentikan mobil tepat di samping salah satu jongko  jagung bakar. Teman-teman langsung menyerbu meja jagung bakar itu. Aku menatap jauh ke arah jalan panjang di depanku dengan kekosongan.
Aku diam. Kutarik nafas dalam-dalam biar hembusannya mampu menjeruji jeritanku di hati terdalam. Mengapa hidup ini tak seringan sebuah permainan kartu ini. Hatiku terisak. Aku tentukan jalan mereka dari sebuah permainan. Sebuah ironi besar bagiku.
Jika jeruji hatiku mulai hancur, aku takut mereka terjebak pada mendungku padahal mereka terus asyik memandang hamparan ladangku dari kejauhan dan menyimpan harapan bahwa sekali waktu ladangku menjadi bagian penting mereka juga.
Dengan hati-hati akhirnya aku katakan kepada mereka bahwa kita sama-sama akan menghabiskan sebuah malam panjang di luar kota, di sebuah dusun yang masih menyimpan banyak cerita silam tentang sebagian penduduknya yang lenyap.
Aku ingin terus berjalan sendirian. Perlahan di sebuah jalan panjang yang sepi. Langit yang menaungiku menampung sebagian kesedihanku. Tetapi ini tertahan pada kenyataan bahwa aku terjeruji luar dalam. Semuanya bukan tanpa perhitungan. Tetapi kenyataannya aku harus terus menyusun sebuah rencana atau bahkan menyusun ulang rencana-rencana yang pernah hampir tercapai.
Bukan tanpa hasil. Selama ini aku terus mencoba melumatkan perasaan-perasaan terdalamku tentang ketakutan itu. Sebagian rasa itu telah kulumatkan bersama dengan terbebasnya ketakutanku yang dipapa oleh dendam yang berkepanjangan. Bukan tanpa perjuangan. Aku terus merintisnya hingga sampai pada titik keberanianku untuk membebaskan diriku sendiri. Ya, keberanian yang aku sendiri kadang tidak tahu pasti kapan itu muncul dan dalam kondisi seperti apa.
Sebuah perjalanan yang sangat jauh. Lebih tepatnya aku berlari mencari kepastian atas rencana selama ini. Sesekali aku terpaku ke silamku. Dan kuuntai kembali kejadian demi kejadian  dan menatanya kembali. Jika aku berkuasa atas seluruh hidupku dan silam adalah bagian hakku, maka akan aku tata ulang seluruh kejadian. Tidak seharusnya ini menimpaku.
Selalu saja ada yang tercabut ketika sebuah keberhasilan didapatkan. Banyak resiko yang harus aku tanggung di mulai dengan kepergian mereka hingga kembalinya mereka yang bercerai berai.
Semestinya aku sudah harus cekatan ketika menyeberang jalan karena sebagian besar hidup kecilku berada di jalanan sehingga uluran tangan bule itu bukan sesuatu yang diperlukan pada kondisi di mana aku harus menembus lalu lintas dan banyak kendaraan yang lalu-lalang.
Tetapi ketika sebuah kepastian itu tidak dapat terelakkan dari hidupku, di mana dan dalam kondisi apapun, itu akan menghampiriku. Ketika area publik lebih memungkinkan aku untuk ditempatkan sebagai korban bukan berarti area privasi rumah tanteku yang kutempati akan mampu menyelamatkanku. Selalu ada kebutuhan aku untuk menatap dunia luar, aku bereksplorasi tentang dunia dan hidupku yang memungkinkan aku bisa cukup nyaman membuang sebuah kerinduan dan kebutuhan perlindungan atas mereka yang disebut sebagai orang tua. Dan selalu ada kelonggaran yang memungkinkan aku leluasa berjuang mencari hidupku sendiri. Tetapi pada akhirnya aku terkecoh dengan niat untuk membuang kerinduan dan kebutuhan akan perlindungan orang tua. Saat itu, bule yang menyeberangkanku adalah angin sepoi-sepoi di tengah terik mentari. Selintas yang terpikirkan, dia adalah teman ayahku yang sering berkunjung ke rumah saat kami masih bersama dulu. Pikiranku dulu menyangka mereka bisa bertemu dengan ayahku di negerinya.
Peristiwa itu telah tertancap dalam hati terdalamku yang kemudian satu persatu peristiwa lainnya giat mempersempit jalan nafasku hingga aku tercekik dan tersengal.
Putusan sidang perceraian orang tuaku menggiring kembali kepada rasa penasaranku atas kemungkinan perubahan baik dari ayahku yang dapat menegakkanku dalam meraih kepastian sebelum semuanya tak terelakan.
Tidak bisa kupungkiri, aku betul-betul merasa terbuang semenjak kepergian mereka atas sebuah ambisi besar. Aku saat itu mulai menerka tentang statusku sebenarnya  atas diri mereka. Dengan pertimbagan apa aku harus terpisah dari mereka? Lambat laun aku menyimpulkan bahwa aku bukan milik siapa-siapa. Sesekali saja aku merasakan sedikit perhatian mereka atas masa depanku. Selebihnya itu lenyap kembali. Mereka kembali berkubang di kepentingannya masing-masing.
Aku melihat kehidupanku selalu dalam gamang. Mengapa tidak saja aku kemudian menjadi pribadi yang liar!!! Sehingga aku bisa dengan leluasa menggerakkan seluruh hidupku berdasarkan hanya atas kemauanku sambil diam-diam aku menyusun sebuah rencana besar untuk mengukuhkan keberadaanku.
Banning yang pernah disebut-sebut oleh ayahku sebagai seorang yang berharga, bagiku itu adalah representasi siklus ancaman bagiku. Selalu ada peluang aku terancam dan kembali bersarangnya tamparan keras di jiwaku, walaupun bukan berarti harus langsung melalui Banning. Apa betul, dalam setiap helaan nafas mereka adalah keluhuran yang diikat jiwa humanis? Bisa iya atau samasekali tidak; atau tidak kedua-duanya.
Traumaku menebal manakala diberitakan tentang seorang Diplomat Australia yang terjerat kasus pedofilia di negeriku. Dan aku pun mulai tercengang bahwa mereka memiliki jaringan kuat di seluruh dunia. Ketika statusku sudah menjadi sasaran mereka, artinya aku termasuk dalam daftar mereka. Ribuan kasus pedofilia telah terjadi di negeri ini. Apakah aku harus berjuang sendiri? Atau aku harus memberi kesaksian atas kejadian yang pernah menimpaku?
Aku ingin mengubur dalam-dalam sambil diam-diam aku menunggu kesempatan untuk menuntaskan semuanya. Aku percaya akan ada keajaiban tetapi terlalu panjang rentangan ini. Semakin aku berharap atas sebuah keajaiban maka semakin jauh aku terhempas pada  ketidakpastian yang sungguh rumit.
Waktu demi waktu terus mempermainkanku. Dan jiwaku sebagian hidup berkubang pada sebuah kelam. Kubiarkan saja karena telanjur aku yang tertanam di ladang sunyi hingga tak seorang pun kurasa mengambil bagian atas perasaanku. Mereka hanya asyik melihat dari kejauhan hamparan ladangku. Padahal aku terus meranggas walaupun tak ada angin sepoi yang melepaskan satu satu daun kering jiwaku; kian menumpuk.
Menjelang pukul enam pagi kami tiba di lokasi yang telah disepakati selama berdiskusi di perjalanan. Sebuah lokasi yang tidak terlalu istimewa. Kami sudah terbiasa dengan kondisi perkampungan seperti ini. Kegemaran kami nyaris sama. Selalu menyempatkan minimal dalam sebulan sekali untuk pergi ke luar kota mencari perkampungan yang masih menyimpan banyak udara segar dan pepohonan yang rindang.
Sepuluh rumah panggung tradisional dengan atap berijuk membentuk dua blok saling berhadapan dengan jarak tiap rumah dua puluh meteran. Tangga yang menghubungkan jalan utama ke jalan kecil menuju pelataran rumah terbuat dari lempengan batu alam yang tersusun kuat dan rapi. Masing-masing halamannya begitu luas. Begitu juga dengan balai-balainya yang menghabiskan ruang sepertiga dari seluruh luas rumahnya. Aku segera merebahkan diri di salah satu teras rumah penduduk itu. Diduga tak berpenghuni.
“Aduh.... emang kita bisa happy di sini?
“Tenang... kebahagiaan bisa kita ciptakan, Yang”
“Tapi gila! Ini terpencil sekali!”
“Kita harus konsekuen dengan perjanjian. Ada yang berhak menentukan tempat!”
“Tumben. Ini bukan tempat pertama yang kamu kunjungi dengan kondisi alam seperti ini.
“Tapi kok gue ngerasain sesuatu yang lain.”
“Ah, sok punya indra keenam aja!”
“Please... teman-teman. Gak perlu ada pembahasan misteri-misterian. Kita tidak berpetualang untuk itu. Atau kita pulang lagi mungpung masih pagi?
Putaran waktu terasa begulir sangat lambat. Mobilitas kami di lokasi itu hanya sebatas radius dua rumah. Belum satu pun kami temui penduduk, bahkan anak kecil sekalipun. Tetapi akhirnya menjelang malam, satu persatu penduduk muncul. Dan akhirnya kami dipersilahkan menempati sebuah rumah yang dihuni oleh seorang kakek.
Tampak redup di ruang tengah tidak terlalu jelas menangkap keberterimaan si kakek atas kehadiran kami. Kebiasaan yang sering kami temui dari karakter pada penduduk di berbagai tempat. Kadangkala sifat mereka sesungguhnya bersembunyi di balik keramahannya. Ada juga yang sebaliknya. Kami kadang mengurungkan niat untuk menempatkan dia sebagai guide atau informan karena kepolosan sikapnya yang tidak santun. Akan tetapi sosok demikian sepertinya lebih menjamin kami untuk bisa hidup selamat selama di lokasi.
Si kakek asyik menggulung tembakaunya. Kami merapatkan diri di antara kakek itu. Udara sudah terasa sangat dingin. Salah satu dari kami tampak sangat gelisah. Ia terus memandang ke sekeliling ruangan. Si kakek berdehem. Sepintas seperti ia menangkap kegelisahan.
“Penduduk lainnya pada ke mana, Kek?”
“Ada acara serah bumi di kampung tetangga. Acaranya bisa sampai tujuh hari tujuh malam.”
“Kakek gak ikut?”
“Ditugaskan jaga kampung. Tadi ada urusan di kampung sebelah lainnya. Kenapa bisa juga sampai ke sini kalian?”
“Kebetulan lewat. Dan kayaknya alamnya masih bagus.”
“Katanya di kampung ini banyak yang aneh-aneh, ya?”
Si kakek beranjak. Ia mengambil lampu tempel yang pijarnya sudah meredup. Ia memutar penaik sumbunya dan seketika ruangan menjadi cukup terang. Ia ragu untuk memulai kembali kata-katanya. Sorot matanya menyala memantulkan cahaya pijar api lampu tempel itu. Ia tampak sangat menjaga riak air mukanya meski pandangan kami hanya mampu menjangkau mukanya pada sisi terangnya saja.
“Kematian yang datang tiap bulan di kampung ini sudah  bukan hal yang aneh lagi,” katanya seperti tidak dimaksudkan untuk didengar oleh kami yang mulai menuntut suatu kejelasan. “Karena takut mendapatkan giliran, sebagian besar warga di sini pindah memilih kampung yang sangat jauh.”
“Kakek sendiri kenapa masih bertahan?”
“Apa yang perlu dikhawatirkan dari tua renta ini. Tanpa itu pun, memang kakek sudah layak masuk liang lahat.”
“Yang aneh itu, gak bakalan menimpa pendatang kan, apalagi cuma numpang lewat?”
Si kakek tidak segera menjawab. Beberapa tarikan nafasnya mendorong dada cekungnya dan kedua bahunya perlahan terangkat. Sepertinya, ia sedang berjuang memberi kenyamanan kepada kami di sela-sela perjuangannya mengatasi keletihannya.
“Tidak juga. Jemputan kematian di kampung ini tidak memilih siapa dan dari mana.
“Ada korban dari pendatang? Pernah kejadian?”
“Bukan pernah lagi. Sering. Minggu kemarin, dua orang sekaligus meninggal. Mereka datang ke kampung ini, mencari pohon kaliage.”
“Yang bisa mengamankan kami apa, Kek?”
“Sebenarnya tidak ada karena tetap saja jemputan itu selalu membawa korban. Paling juga kakek bisa sedikit membantu kalian dengan mengalihkan sasaran korban saja. Itu pun perjuangan berat. Kadang warga lain membenci kemampuan kakek ini karena mereka takut kena limpahannya.”
Si kakek berjalan tertatih ke belakang. Kami semakin penasaran. Kami hanya mampu berbisik dan sedikit mengalisa.
“Elo percaya?
“Gak tau juga. Jangan-jangan dia dukun santet.”
“Elo percaya?”
“Harus percaya.”
“Tapi gue rasa, ini bentuk pengusiran secara halus buat kita.”
“Sepertinya itu lebih baik! Daripada kita gak tahu apa-apa, ujung-ujungnya kita jadi korban di kampung ini, gimana?”
“Elo ngapain juga milih tempat ini? Emang gak tahu sebelumnya tentang cerita sesungguhnya?”
“Kalau gue tahu sebelumnya dan kita terus maksa pergi juga, dan kita mati konyol, apa itu gue?”
Si kakek kembali muncul dan membawa dua buah bantal. Ia meletakan bantal-bantal itu di antara kami.
“Maaf seadanya. Kalian tidur di ruang tengah ini saja. Kakek harus istirahat. Sudah malam sekali.” Sesaat sebelum masuk kamarnya, ia menoleh kepadaku. Ia mengangguk. Ungkapan hormat selamat beristiratkah atau ia mencoba memahami kenekatan kami?
Sesungguhnya kami hanya memaksakan untuk tidur dan memejamkan mata. Semakin hening, kami semakin khawatir sesuatu terjadi menimpa kepada kami secara tiba-tiba. Tetapi selalu ada harapan. Kami masih menanti pagi. Sesekali kami mendengar suara gumaman kecil si kakek dari arah belakang. Semakin jelas terdengar, maka kami semakin menerka-nerka akan suatu isyarat yang perlu kami waspadai.





5

Hahaha.... Anda terus menanti detik-detik yang mendekati dan meyakinkan kesimpulanmu tentang sikap dan keputusanku? Terus saja menyelidik tentangku. Anda tidak akan mendapatkan apa-apa jika aku tidak berterus terang tentang semua yang kualami. Aku hanya ingin semuanya cepat berlalu. Lambat laun aku kasihan kepada Anda. Sebagian hidupmu kini hanya dikonsentrasikan untukku. Jika aku pinjam kata-kata Anda tempo hari tentang peluang ke depanku, maka kini aku pertanyakan kembali, apa Anda akan menghabiskah sepertiga hidupmu hanya untuk sesuatu yang mubazir menurutku. Anda hanya mampu mendiagnosa dan memberikan sedikit obat. Itu sama sekali tidak menolongku, sampai kapan pun. Atau jangan-jangan obat penenang itu hanya kebutuhan mendesak untuk segera diberikan kepadaku, manakala Anda merasa terancam keselamatan   saat berhadapan denganku. Aku perlahan terus dilumpuhkan oleh Anda demi kepentingan Anda. Haruskah aku bersimpati?
 Jika aku harus demikian atas keberadaan orang lain, mungkin satu-satunya yang aku berkenan untuk memasuki keadaan hatinya hanyalah satu orang. Tidak untuk Anda. Dia sesungguhnya adalah aku yang dibedakan oleh waktu. Dari kepolosannya yang kutahu, dalam benaknya hanya terpikirkan rupiah dan makan.
Bisa aku lanjutkan tentang ini?
Pertemuanku dengannya berawal dari sebuah teriakan melengking layaknya suara teriakan seusia anak-anak yang kudengar di sebuah tikungan sedikit sepi dari orang-orang dan kendaraan yang masuk ke kawasan itu. Aku mendengarnya pada suatu malam di sebuah daerah lokalisasi. Aku hentikan kendaraanku saat setelah kupastikan ada anak kecil yang diseret seorang pemuda. Jarak pandangku dari objek tidak terlalu jauh dan kupastikan kejadian itu mengindikasikan adanya tindakan pemaksaan. Serentak aku menghampiri mereka. Tetapi pemuda itu semakin kencang berlari menarik anak itu.
“Kamu mau apakan anak itu?”
“Anjing lu! Apa ususan lu, Anjing!”
Aku mencoba meraih tangan anak itu. Tetapi pemuda itu lebih cekatan. Ia sedikit mengecoh arah dan menyeret anak itu hingga memasuki gang kecil  sebuah perkampungan yang gelap.
Setidaknya aku ingin menerka perasaan anak kecil itu ketika aku mengejar untuk menyelamatkan dia. Ada kebutuhanku saat aku seusia dia atas sebuah perlindungan. Aku refleksikan kembali diriku atas dia. Aku terus mencarinya. Malam demi malam, aku sengaja selalu mengambil jalan  di mana empatiku terpanggil untuk dia. Sesekali, aku berjam-jam menunggu dia di dalam mobilku dan akhirnya aku temukan juga. Aku perlahan mengikuti langkahnya.
“Masih ingat aku?”
“Yang dulu berantem dengan kakakku kan?”
“Kakakmu?”
“ Iya.”
“Mana kakakmu?”
“Gak tahu.”
“Bisa ikut sebentar?”
“Kemana, Om?”
“Itu mobilku. Aku perlu bantuan kamu. Ayo!”
Ia tampak menikmati suasana malam dalam sebuah perjalanan panjang. Berlawanan dengan suasana hatiku setelah beberapa penggal kalimatnya menyeretku untuk terus mempertalikannya dengan apa-apa yang pernah kualami. Masa traumatik itu!
“Sepertinya kamu nggak takut lagi sama kakakmu, ya?”
“Aku gak takut. Aku berontak waktu itu karena capek.”
“Dengan Om-om itu?” Mudah saja untukmu menyimpulkan semuanya.
“Iya”
“Tapi dapat duit kan?”
“Iya sih. Tapi sebagian. Kakakku yang ngatur. Kadang saya suka sembunyi-sembunyi untuk ngamar. Biar dapatnya penuh.”
“wiiih... pake ngamar segala kayak tante-tante!”
“Eh.. Om kita mau ke mana?
Malam dengan sedikit bintang itu, kami melaju menuju sebuah tempat. Tepatnya jembatan. Aku memegang tangannya dan kudekatkan dia ke pilar besi penyangganya.
“Kamu berani masuk ke sungai itu?”
“Untuk apa, Om?”
“Berani nggak?”
“Kalau siang hari nggak masalah.”
“Kamu berani nggak?”
“Untuk apa, Om?”
“Jawab!”
“Iya... saya coba.”
“Bagus! Sekarang kamu turun!”
“Ngamar kok di sungai?”
“Diam kamu!”
Aku menarik cepat lengan anak itu menuju tepian sungai. Bocah itu tampak menggigil. Air sungai merendam sampai batas lututnya. Aku terus memperhatikannya dari tepian sungai.
“Kamu terus saja ke tengah!”
“Dalam, Om!”
“Dicoba aja dulu!”
“Di sini aja udah selutut, apalagi di tengah. Aku takut tenggelam.”
Ia takut tetapi terus berjalan menuju tengah sungai. Airnya semakin atas merendam tubuhnya sampai batas dadanya. Aku tiba-tiba merasakan ada kegelian sekaligus kesedihan.
“Kamu gak mungkin aku tiup dari atas jembatan ini untuk sampai ke bawah!”
“Om, kaki saya kram.”
“Aku, kamu, teman-teman kamu adalah bagian dari bencana yang sama.” Aku tidak menghiraukan keluhannya.
“Apa yang harus aku cari di sini?”
“Kamu terus saja ke tengah! Iya... ke dekat batu besar itu!”
Malam itu aku lebih dekat dengan kekecewaan dan keterkejutan. Belum sempat aku mengucapkan terima kasih kepada jalan sepi, seseorang telah berteriak lantang dari arah atas jembatan.
Aku susun kembali rangkaian perjalanan itu. Bocah itu masih basah kuyup dalam mobilku.
“Ke mana lagi kita?”
“Sebelum tubuhmu kering, kamu gak boleh pulang!”
“Pulang?”
“Iya, ke tempat mangkalmu.”
“Aduh... kelamaan!”
      Ia diam sesaat seperti tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kata-kataku tadi tentu membuat dia tidak mampu mendesakku. Sesekali ia menoleh ke arah luar jendela. Seperti diingatkan sesuatu, ia cepat-cepat merogoh saku celananya. Ia keluarkan uangnya dan menghitungnya.
      “Kok dihitung terus? Emang bisa nambah dengan sendirinya?
      “Seharusnya sih.”
      “Kok?”
      “Malam kemarin aku dapat tiga puluh sembilan ribu lima ratus.”
      “Penghasilan bersih dari ngamen?”
      “Ngamen cuma dapet empat ribu. Yang gedenya ya dari dines malam.       
      “Ya udah, kurang berapa dari penghasilan kemarin?”
      “Emang Om mau nambahin?”
      “Dua puluh ribu buat kamu.”
      “Upah nyebur ke kali atau sekalian dengan upah ngamar nanti?”
Aku diam. Dia tidak bereaksi apa-apa ketika aku masukkan  ke kamarku. Pakaiannya satu-satu ia tanggalkan. Aku segera merentangkan pakaiannya di sandaran kursi. Aku nyalakan kipas angin.
“Sudah kering, jadi pulang?”
“Mau kamu gimana?”
“Terserah om saja.”
“Ya sudah. Nih uang yang om janjikan. Kalau sudah kering pakaianmu, bilang sama om. Kamu pake baju ini dulu. Om mau rebahan dulu.”
“Terus uang ini untuk apa?” katanya sambil tatapannnya terpaku saat aku membuka bajuku yang ikut sedikit sedikit basah.
“Om....”
“Gak ada ngamar-ngamaran!”
“Ya udah. Tapi... gantinya, aku punya permainan. Minta kertas gede dan spidol.”
Aku mengernyitkan jidatku. Tak lama kemudian dia sudah selesai membuat kotak-kotak tersusun di kertas yang kuberikan. Kotak-kotak itu terdiri dari enam kolom dan lima baris. Ia hamparkan di atas lantai. Aku dimintanya untuk mendekat dan memperhatikan permainan itu. Ada tiga koin uang yang ia gunakan. Dengan hati-hati ia gerakkan salah satu koin dan menempatkannya di salah satu kotak dengan menggunakan jari tengah sedangkan jari manis dan kelingkingnya terlipat. Ia diam sesaat. Dan mengatakan tiga ribu! Aku belum bisa menerka arah permainannya. Koin kedua ia gerakkan dengan ujung telunjuknya di mana jari lainnya terlipat menuju kotak yang lainnya. Ia mengatakan itu seribu. Tepat sebelum ia memasukkan koin ketiga ke kotak yang berada di kolom tiga baris satu, perlahan dan mantap jempolnya ia selipkan di antara jari telunjuk dan jari tengahnya sehingga yang tampak adalah setengah jempolnya menyembul ke luar. Ini berapa, katanya. Aka hanya menghela nafasku. Sesekali tarikan nafas panjangku kutahan dan kukeluarkan perlahan.

***

Ternyata perjalanan panjang itu menggiringku pada perjuangan untuk mengikis segalanya, termasuk rasa empati itu atas bocah cilik atau kepercayaanku atas siasat seorang renta, atau bule yang menyisakan pemburuanku. Bukan mengubah sikap, tetapi ini sebuah kesadaran yang harus aku tumbuhkembangkan. Hingga tiba pada sebuah keputusan yang lebih akrab dengan suasana di malam gelap.
Aku keluarkan kantung hitam besar. Cukup berat. Sengaja kuikatkan kertas bergambar kotak-kotak. Sebuah kenangan. Aku perlahan menuruni anak tangga menuju bawah jembatan. Aku harus menjaga perasaannya karena aku tahu bahwa sebenarnya bocah itu butuh kebebasan. Maka dengan sikapku ini, tak akan ada yang mampu mengganggunya lagi. Tak ada lagi resiko sakit yang diterimanya. Aku bebaskan dia dari penderitaan ini untuk harga dirinya, harga diri bangsa yang dikoyak oleh mereka yang lahir dari sebuah kelalaian.
Aku ingin menolongnya untuk meyakinkan bahwa aku begitu peduli. Tiupan nafas panjangku mudah-mudahan dapat ia terima di keabadian. Ia pasti merasakannya. Biar kantung ini hanyut perlahan bersama awal kebebasannya. Aku telah membebaskan satu di antara banyak derita.
Aku membujuknya kembali untuk mau singgah di kamarku. Samasekali tidak menolak bujukanku. Ia lebih tertarik dengan minatnya. Ia meminta aku mengajarinya nyetir mobil. Saat itu aku diam saja.
Keinginannya terlalu meletup-letup. Selang beberapa menit, dengan ringan ia memintaku untuk mau mengantarkan dia ke Batam. Katanya, pengen tau aja kehidupan di sana. Kakak tertuanya bisa cepat kaya hanya dengan pergi membawa tubuh yang terawat saja karena rajin fitness.
Selang beberapa menit, ia cekikikan sambil iseng menarik kaosku. Katanya ingin memastikan bulu dadaku apa masih setebal seperti saat ia pertama kali melihatnya di kamarku. Aku mulai tersinggung. Aku ditarik ke kebutuhan hasratnya seperti juga aku selalu ditarik ke usia psikologis jauh lebih kecil saat aku dibujuk untuk bercerita banyak tentang kehidupanku seperti ini.
Pikiranku perlahan menantikan saat yang tepat. Ada cara yang paling lembut yang telah aku persiapkan jauh-jauh hari untuk menghantarkan dia meredam letupan-letupannya. Ia menjadi merengek-rengek. Aku katakan bahwa dirinya belum cukup umur untuk membawa tubuhnya ke Batam. Tubuhnya belum bisa terbentuk seperti yang diiinginkannya. Ia terus merengek bahkan terus memberi alasan melampaui apa yang aku ingin dengar darinya. Akhirnya aku pura-pura mau mengabulkan permintaannya.
“Om gak bisa tenang di perjalanan nanti jika kamu terus merengek-rengek seperti ini.” Aku segera memberinya satu kaleng soft drink. Ia segera meneguknya. Aku bersabar melihat kejadian berikutnya.  Ia terbatuk-batuk dan kembali ingin merengek meminta aku menepuk pundaknya untuk mengeluarkan cairan yang mengoyak seluruh saluran nafas dan lambungnya.
Kuhampiri dan kupeluk dia. Ia menarik kaosku. Tetap saja nakal. Kubisikan ke telinganya, pergi saja dengan kebebasanmu sepuas kamu mau pergi ke mana pun.    Ia tampak mulai  marah dan membenciku tetapi sorot matanya mulai kabur dan tak mampu menantangku. Aku semakin erat memeluknya. Perlahan cengkramannya melemah. Aku sedikit merapikan kaosku bekas tarikannya. Kelembutan yang mungkin sedikit mengejutkan bagi dia.

***

Kelembutan? Sudah aku jalankan. Aku tidak menuntut kesamaan persepsi atas apa yang disebut kelembutan. Aku akan terus menunjukkan perbedaannya. Kucari kembali di sebuah keramaian taman kota; taman tempat orang sesaat menginginkan kehidupannya diraih utuh, walau sesaat, sebelum ia masuk kembali kepada kenyataan yang tak terelakkan.
Aku pandangi uang receh dan beberapa lembar uang kertas miliknya. Sengaja kuambil. Sebenarnya aku masih butuh berinteraksi dengannya. Tetapi ketika wujud itu hadir aku selalu ditarik ke kekhawatiran bahwa semuanya akan berlarut dan terlambat, maka hanya dengan uang-uang ini aku mencoba menata ulang kembali sikapku  mendatang. Dan ternyata sebagian uang kertas ini terbang dijemput angin. Itu mungkin menunjukkan arahku untuk kutemui seseorang pada sebuah malam kelam kembali di suatu tempat.
Tak banyak cukup waktu untuk menunggu akan kepastian bahwa semuanya tidak akan pernah terlambat atau berlarut-larut. Walau dalam sisa energiku setelah menghantarkan bocah itu menemui kebebasannya dan sedikit keraguanku memilih kembali waktu yang tepat dan kukuasai, aku temui kembali kakek renta di perkampungan yang banyak menyimpan misteri itu. Sendiri saja. Aku tidak ingin sikapku dibelokkan ke jalan yang lain karena keinginan mereka yang sama sekali tidak tahu tentang kepentinganku sesungguhnya.
Sedikit kegembiraan yang dia sembunyikan melihat kedatanganku yang ketiga kalinya. Kakek itu menyapa dengan suara pelan sekali, seolah rahasia hanya milik berdua.
“Bagaimana sudah ada perkembangan?”
“Seperti yang kakek sarankan, saya mencoba kembali sambil menunggu hasilnya.”
“Bagus! Memang semuanya butuh perjuangan.”
Sesaat kami diam. Ada perasaan yang mendesak yang aku tangkap dari helaan nafasnya.
“Bawa kapas dan sirih?”
“Ada.”
Seketika aku telah berbaring di atas sebuah tikar kecil. Ia bersila di tepi tubuhku. Kembali kutangkap helaan nafasnya terdesak. Ia mencoba mengaturnya.
“Saat itu kamu belum sepenuh hati. Makanya belum mendapatkan hasilnya.”
Ia mengelus dua kali pahaku. Sesaat ia beranjak ke belakang dan muncul kembali dengan pinggan kecil berisi botol kecil, dan sapu tangan. Kemudian ia satukan dengan sirih dan kapas yang kubawa. Aku masih gelisah.
“Kalau saja tempo hari kamu tidak mengawalinya dengan sebuah penolakan, pasti tidak lama lagi gadis itu sudah kamu dapatkan, atau paling tidak sudah kamu bawa ke sini secepatnya untuk diperkenalkan kepada kakek.”
Ia membuka tutup botol minyak dan melumuri kedua telapak tangannya.
“Buka bajumu.”
Aku buka satu persatu kancing kemeja. Perlahan ia mengusapkan telapak tangannya ke dadaku. Ia meneteskan minyaknya dua tetes ke pusarku yang sedikit mencekung. Ia masukkan ujung telunjuknya ke pusarku. Sebagian minyak yang tertampung di cekungan pusar meleleh ke luar.
Sudah kupastikan aku akan kembali ditarik kepada dua sisi antara penolakan dan kepasrahan. Akhirnya aku dalam keletihan dan berkeringat. Ia menyelipkan kapas yang sudah basah dari air nikmatku ke lipatan daun sirih.
“Simpan di dompet. Dan seperti biasa, jika gagal, buang ke kali untuk membuang kesialanmu.”
Aku mencoba untuk tegar walau suaraku lirih. Aku yakinkan kepadanya bahwa dia tidak salah tentang sperma itu dan kesialanku. Aku tandaskan bahwa kalau memang kesialan adalah milikku, tidak serta merta itu terlepas dari konteks genetis yang telah diwariskan. Artinya,  sel telur ibuku telah dibuahi oleh sperma yang salah. Atau kedua-duanya bermasalah. Tapi aku telanjur lahir. Boleh saja konteks genetis dilenyapkan, tapi seberapa cerdas mereka menciptakan secara kultur tubuh sosialku di samping tubuh privasiku. Atau aku harus menciptakannya sendiri dari kinesis, gestur, hingga langkah besarku atau bahkan untuk sesuatu yang benar-benar tersembunyi di dalam hati untuk tidak melampaui tempat dan haknya? Bagaimana pula dengan tubuh renta itu?
Kakek itu terlalu tua untuk mengembalikan kepercayaan diri seorang laki-laki dan keyakinan seorang wanita. Kalau ia sempat berhasil membuahi rahim wanita, itu artinya ia telah menitipkan sebuah kehancuran untuk anak negeri mendatang.
Aku kembali tidak ingin menunda kesempatan ini sebelum aku kembali punya waktu untuk memahami diriku sendiri dalam serba keterbatasanku.
Sengaja kembali kupilih sebuah malam. Kembali aku dan kantung hitam. Berat. Aku letakkan kantung itu di bibir tembok jembatan. Aku injakkan sebelah kakiku ke kantung itu.
Kantung itu hanyut. Tak satu pun kutinggalkan. Sepertinya aku ingin melumatkan habis seperti pada malam lain di mana aku dicumbu oleh seseorang yang pernah membantuku untuk menyebrangi jalan ketika aku masih kecil. Aku terus mengusung belati mati dalam hatiku. Selalu kucari. Aku terus memburunya meski adakalanya belati itu terlepas dari genggaman hatiku atau sekedar melemah cengkramannya.
Di sebuah hotel kembali. Penolakan halus dan penerimaan dalam keterpaksaan atas banyak cumbuan seorang bule. Aku berketetapan hati untuk membasuh tubuhku dengan darah segarnya. Aku letakkan satu persatu kartu remi ke jidat, pipi, dada, pusar, dan kelaminnya. Ada perasaan berselang antara sedih, geli, dan suka. Tetapi semuanya kutahan. Tidak ada yang mendominasi salah satunya. Aku yakinkan kepadanya bahwa di hotel yang kutempati atau tempat lainnya, delapan belas tahun yang lalu, sebelas tahun yang lalu, ada yang tumbuh melalui duburku sampai ke hati dan otakku, berselang dengan rasa sakit yang kekal. Tapi dia dan yang lainnya hanya menganggap itu sebagai permainan kecil saja. Pada malam itu, aku telah dijemput kepastian nyata olehnya. Aku mulai menikmatinya tetapi dia telah dijemput oleh kepastian lain. Maaf... mungkin sebuah kebetulan juga. Aku tidak tahu. Atau kedua-duanya?

***

      Anda cukup bersabar mendengar segalanya yang pernah kualami. Sebenarnya terlalu sedikit kata-kata yang mampu menampung seluruh apa yang kurasakan. Dari keadaan hati terdalamku, Anda hanya mampu melihat air mata samar di mataku. Dari pikiranku tentang hidup terdalam, mungkin hanya kernyit jidatku yang menunjukkan pikiranku tentang silam, kini, dan mendatang. Adakalanya nafasku tertahan begitu berat manakala aku berkeyakinan bahwa kenyataan silamku sulit untuk kuterima. Aku ingin menghancurkan keyakinanku itu. Ada hari esok yang sesungguhnya harus aku perjuangkan menuju kepada perbaikan. Tetapi saat aku mencoba bangkit, selalu saja aku kembali menjadi kecil.
      Sebagian dari Anda mungkin mencoba bersimpati atau malah berempati. Helaan nafas Anda mulai tidak beraturan karena dada dirasakan mulai terasa berat sejalan dengan perjuangan Anda menempatkan sudut pandang Anda memahami kisahku. Ada air mata samar yang Anda sembunyikan. Itu membuat aku sama sekali tidak dapat berdiri tegak. Apakah ini bentuk dukungan agar aku tegar?
      Aku sempat terpanggil untuk bangkit manakala sebagian dari Anda seolah tidak mempedulikan keadaanku. Untuk sementara, aku merasa nyaman ketika disikapi seperti itu. Akan tetapi, aku menjadi lunglai manakala sebenarnya Anda di sisi yang lain berbicara banyak tentangku di belakangku. Sesekali aku melihat kinesis mata yang penuh selidik dan mencoba meyakinkan dugaan Anda.              Lebih-lebih ketika aku berhadapan dengan Anda yang lain yang menunjukkan sikap benci! Tapi aku tidak juga perlu dikasihani.
Kini aku tinggal menunggu mati saja. Terlalu lama untuk menunggu sampai usia rentaku.         Aku telah menyelesaikan sebagian dendam silamku. Barangkali Anda mempunyai sikap lain atas seluruh kejadian yang menimpaku? Tolong, berterus terang saja. Nanti, setelah tuturanku usai,    akan ada sedikit lagi yang    Anda ketahui tentangku.       Bagi Anda itu mungkin bukan masalah besar. Tetapi bagiku itu suatu yang hakiki.
Apakah aku mempunyai hak penuh atas hidupku atau hanya orang tua yang memilikinya ketika Tuhan percayakan seorang anak kepada dua makhluk yang dinamakan orang tua? Ataukah semuanya harus berbagi. Hanya ada separuh hak dan kewajibannya. Jika demikian mengapa mereka mengabaikanku?
Aku percaya bahwa takdir tidak akan tertukar. Tetapi mengapa Tuhan memilihku untuk menjalani ini semua?
Sebentar lagi keluargaku akan menemuiku. Aku sama sekali tidak tertarik atas pertemuan ini. Sering sekali mereka menjengukku. Topeng! Mengapa tidak sejak dulu mereka rajin menjenguk hatiku, dari usia kecilku hingga kapan pun? Apakah harus selalu ada dulu sebuah bencana, baru kemudian mereka merasa terpanggil untuk menunjukkan kepedualiannya? Jangan pernah berdalih bahwa mereka menyembunyikan kasih sayangnya untukku! Mengapa harus disembunyikan? Apakah akan datang sebuah petaka ketika kasih itu ditunjukkan, ketika kasih itu dihadirkan, ketika kasih itu diwujudkan dalam sapa dan kebersamaan?
Sebentar lagi mereka datang. Tidak ingin sepatah kata pun keluar dari mulutku untuk mereka. Anda yang akan memilih mana saja yang harus Anda sampaikan kepada mereka tentangku, tentang diagnosa Anda atas diriku.
Kabarkan saja kepada mereka tentang sebuah pertanyaan jika itu dipertanyakan kelak. Beritahu kepada mereka, karya keduaku sekaligus karya terakhirku. Itu akhir perjuanganku. Dalam format VCD, aku simpan baik-baik di kamarku. Cari saja nanti, setelah aku memperbolehkan semuanya untuk menyaksikan itu.
Jangan pernah tergesa-gesa bertindak. Aku masih di sini. Jangan berkecil hati atas penangananmu untuk kasusku. Pelan-pelan saja sebab aku pun butuh waktu untuk menghela nafas panjang.
      Biarkan aku manfaatkan waktu singkat ini untuk melebur kepedihanku dalam kesadaran bahwa aku harus menerimanya walaupun pertimbangan akhir telah menggiringku pada suatu keputusan.
      Tidak sepatutnya Anda meningkatkan penjagaan dengan mengerahkan para petugas untuk terus mengawasiku. Selalu ada detik-detik di mana  sesungguhkan aku bisa melesat jauh sekali ke angkasa. Biarkan saja aku mengambil bagian ketakutuhanku. Aku ingin lebih dekat dengan jiwaku dan berlama-lama dengannya. Ragaku saja yang terlipat di sudut jeruji ini. Biar saja kamera pengawas itu meliput seluruh gerakku di sini tetapi kemampuannya sangat terbatas. Ruhku tak dapat dijangkaunya.
      Dengan ruhku, aku harus terus berkelana mencari kebebasan. Biarkan aku berlama-lama mengembara. Tak pulang ke jasadku  sekali pun, tak apa-apa. Selalu ada caraku untuk masuk dan meninggalkan jasadku, sementara atau ...





6

      Perlahan jari-jari keriput itu bergerak gemetar. Penuh khawatir dan rasa takut. Ia membuka VCD itu. Sesaat ia tertegun. Rasa harunya tertahan dalam sekali. Tampak goresan spidol merah di permukaannya bertuliskan huruf-huruf kapital: JIKA KELAK DIPERTANYAKAN!
      Ia kembali tertegun. Mencoba mencari tahu dari akhir ini semua. Dalam kesesakannya, diputarnya VCD itu. Jantungnya berdebar kencang. Matanya mulai menangkap gambar-gambar pembuka. Shot-shot yang tak beraturan tampak sedang mengatur dan menentukan objek pilihan yang harus masuk ke dalam frame. Perlahan wajah Joseph muncul. Yang tampak seluruh wajahnya memenuhi layar. Ekspresinya sangat jelas. Dia sedih, tertekan, marah, kecewa, dan frustrasi. Gambar beralih kembali ke hamparan kertas bergambar kotak dan tiga buah koin, botol kecil minyak wangi, gelang kulit bermotif etnik.
      Perlahan kembali ke wajahnya. Perlahan kata-katanya dituturkan. Sedikit demi sedikit genangan samar air matanya semakin tampak.
      “Papa ... atau siapa pun yang menemukan dan memutar VCD ini, ini hasil karyaku. Sengaja ini kubuat karena kita sudah masuk ke dalam sebuah peradaban besar. Tetapi sesungguhnya, bagiku peradaban yang kita miliki adalah perangkap. Perangkap karena kita telah dibelenggu sebuah kelalaian.
Aku telah melewati sebagian perjuanganku. Sebenarnya aku terlalu lelah untuk memikirkan kelamku. Tetapi aku mohon kepada semuanya untuk tidak mengasihaniku karena seluruh kepastian atau apapun namanya, juga seluruh yang dinamakan sebuah kebetulan, adalah pencarianku.
 Bagiku hidup adalah sebuah permainan kotak koin yang seringkali mengalihkan segenap pandangan dan hati. Dan aku telah masuk dalam permainan itu dengan atau tanpa kusadari. Itu berawal dari sebuah rumah. Aku bersedih untuk diriku, masa silamku, rumahku, dan orang-orang disekitarku.
Sebenarnya aku ingin ringan saja berdendang atau sekedar bersiul dan berjalan di kesejukan. Tetapi rumahku mengantarkanku ke kehidupan yang tidak kumengerti jauh sebelum aku pantas atau siap menerimanya jika memang itu sebuah ketetapan yang tidak bisa dielakkan.
 Aku sudah terperangkap jauh dan berkubang dalam kelamnya sebuah kelalaian. Kelam yang terus berkelakar kepadaku yang menyulitkanku untuk membangun sebuah senyuman.
Papa... jika kelak takdir menjemputku dalam sebuah kepastian, tolong bisikkan ke telingaku. Aku pasti mendengarnya dalam ambang keabadian. Bisikkan padaku bahwa Papa siap mengantarkanku ke sebuah kerelaan. Bisikkan kepadaku, ketika aku akan menjadi lupa tentang nama Papa dan Mama ketika dipertanyakan kelak di keabadian. Dan yakinkan aku bahwa Papa dan Mama  menerima semua keadaanku untuk kusampaikan kepada satu-satunya Sang Peminta Pertanggungjawaban di keabadian. Dan aku harus memastikan kepada-Nya bahwa aku dalam kasih sayang yang aman. Tetapi bila semua itu tidak mungkin, biarkan aku berjalan sendiri tanpa harus merasakan dengan nyata atas kemungkinan kesedihan Papa dan Mama. Biar saja ini menjadi ujung tangisku,harapanku, penghormatanku, kenanganku, dan seluruhnya. Selamat tinggal. Aku kini milik keabadian!”
Elka memejamkan matanya pelahan. Kata-katanya terkunci. Hatinya terisak. Di dalam ketidakberdayaannya ia masih ingin menunjukkan bahwa ada senyum kecil yang dapat dipelajari dan diajarkan dengan hatinya kepada Jo. Tetapi kapan? Elka sendiri sedang meraba-raba kembali kemampuannya menjabarkan senyum orang tuanya dan mengurai air muka mereka.  Ia menatap dalam-dalam dirinya yang terpantul melalui cermin. Tak ada kuasa untuk kembali menawar dan mensiasati jalan yang telah dilaluinya.

***

Jalan sepi, sore hari. Jo yang kini mendekati usia lima puluh tahun berjalan  dan terpaku di sebuah jembatan tua tempat sebagian kisahnya hidup dan ditenggelamkan. Jo telah berjalan sangat jauh. Seminggu setelah masa pembebasannya, ia masih mencari hakiki.
Ia tertunduk dan sesekali menatap jauh ke langit yang mulai menjingga. Angin menghempas wajah dan rambut tipisnya. Ia pandangi aliran sungai deras dan penuh dengan batu besar. Ia bersandar di pilar jembatan itu. Sesaat tatapannya terpaku pada barisan semut rangrang yang beriring di atas batang besi yang menghubungkan dua penyangganya. Ia dekatkan wajahnya ke barisan semut itu. Dekat sekali. Bola mata kusamnya jelas bergerak mengikuti gerakan semut-semut itu. Ada genangan di matanya yang ditahan untuk tidak tumpah. Dengan sedikit kekuasaannya, ia tiup semut-semut itu. Tiupan yang lembut dan kemudian cukup keras. Satu-satu semut terhempas jatuh dari ketinggian besi jembatan. Sebagian semut bersembunyi di bagian dalam besi. Sebagian lagi bertahan dalam cengkraman lemah kakinya. Akhirnya semut-semut yang bertahan pun harus melayang jatuh  ke permukaan air.
Ia tersenyum dibalut kesedihan yang dalam berselang kekecewaan. Ia merogoh bagian dalam baju hangatnya. Ada bungkusan selembar kain kecil yang dia keluarkan. Seperti berisi debu. Ia tebarkan ke arah sungai. Sebagian terhempas angin menyebar ke berbagai arah. Ia kembali menatap dalam-dalam langit.
Perlahan ia digiring untuk menentukan sebuah keputusan. Ia rogoh kembali baju hangat bagian dalamnya. Sesaat tangannya mengepal kotak VCD karyanya. Tangannya kembali gemetar. Keputusan untuk melihat yang terakhir kalinya. Tampak label muka bertuliskan “JIKA KELAK DIPERTANYAKAN”.
Sebenarnya ia belum menentukan sikap dengan cara apa VCD itu         harus lenyap dari dirinya.          Seketika ia ingin melemparkannya saja ke sungai.             Sisi hati yang lain menawarkan biar hempasan angin saja yang         menyapunya agar jika keputusannya berubah kelak,          tidak ada penyesalan; hanya kebetulan saja itu terlempar.                              Ia terpancing untuk mencari                   yang lebih alami. Tetapi sedikit saja angin menghampirinya. Gemetar tangannya ia sadari sebagai sebuah kewajaran. Maka sedikit demi sedikit ia letakkan VCD itu di telapak tangannya yang terbuka lebar. Sebagian jari-jarinya ia gerak-gerakkan untuk menggeser posisi benda itu. Ketika kemiringan nyaris menjatuhkan benda itu meluncur ke permukaan air sungai, seketika hatinya berontak untuk menyelamatkannya. Akhirnya ia mendekap erat benda itu. Matanya terpejam erat. Ia tahan kesedihan yang merontanya untuk diteriakkan. Kata-katanya terputus-putus.
“Kenapa Kau masih hidupkan aku?, Masihkah aku  berhak menawar sebuah kepastian hidup?”
Jauh dari arah belakang, seorang bocah berlari. Ia mengejar-ngejar sehelai kain yang tertiup angin. Saat berhasil meraihnya, ia mengangkatnya tinggi-tinggi. Kain itu berkibar tertiup angin. Senyumannya tiba-tiba tertahan saat ia menatap lurus ke langit. Tatapan yang tidak terlalu dalam dan jauh, tetapi ia terpana. Genggamannya melemah. Dan seketika kain itu diterbangkan angin. Jauh.
      Perlahan-lahan ia gerakkan jari-jarinya. Dibuka dan dilipat sebagian jarinya secara tidak beraturan. Sesekali ia menunjukkan jarinya ke beberapa arah secara tidak beraturan pula. Bocah itu tiba-tiba tertegun saat kembali tengadah melihat langit. Seketika setelah itu, ia pun tersenyum. Tatapannya terus terpaku ke langit.
      “ Ini satu.... ini lima .... ini berapa?”
      Langit perlahan meredup. Sosok mungil itu tampak semakin mengecil dan lembayung jingga perlahan menjadi hitam. Ia mengejar jauh kain yang diterbangkan angin. Sesosok bayangan tinggi lainnya mengikuti bocah itu. Jauh.... jauh.... dan kemudian semuanya melebur dalam hitam malam.

- usai -

     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar